Posted in Artikel Gus Dur

INDIVIDU, NEGARA DAN IDEOLOGI

 (Catatan Budaya Gus Dur)

Pengantar Redaksi

Yayasan Soedjatmoko tanggal 3 Februari 1994 mengadakan Simposium Menyiapkan Diri Menuju Abad XXI di Jakarta, pada acara Peringatan Soedjatmoko. Dua makalah pada simposium tersebut, oleh Abdurrahman Wahid dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dimuat Kompas di halaman 4, dan di halaman 5 dimuat tulisan Mohamad Sobary.

 

HUBUNGAN antara warga negara sebagai individu dan negara sebagai kolektivitas pemerintahan kembali mencuat ke permukaan, sebagai isu perdebatan dan refleksi pemikiran, dalam beberapa tahun terakhir ini. Manifestasi dari munculnya hal itu tampak jelas dalam perdebatan yang berlangsung antara negara-negara berindustri maju sebagai pemberi bantuan atau mitra dagang di satu pihak dan negara-negara berkembang di pihak lain dalam tahun-tahun terakhir ini.

Negara-negara berindustri maju itu mensyaratkan penerapan hak-hak asasi manusia, perlakuan lebih adil kepada kaum pekerja, bersihnya pemerintahan dari korupsi dan lain-lain syarat lagi seperti itu. Demikian kerasnya tekanan demi tekanan dilancarkan ke alamat negara-negara berkembang sehingga Indonesia terpaksa mendirikan badan-badan khusus formal atau semi-formal untuk memberikan responsi yang tidak merugikan apa yang dirumuskan pemerintah sebagai ‘kepentingan nasional’ di satu sisi dan apa yang dianggap mencukupi ‘tuntutan-tuntutan baru dalam hubungan internasional’. Contoh dari lembaga seperti ini adalah Komite Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnasham).

Dilihat dari sudut pandang hubungan internasional, berubahnya perimbangan antara hak-hak individu warga negara dan wewenang pemerintah di negara-negara berkembang itu menunjukkan adanya pergeseran sikap kolektif dari bangsa-bangsa di dunia secara keseluruhan, menuju ke sebuah tahap baru dalam perkembangan peradaban umat manusia. Seolah-olah penutup abad ke-20 M, katakanlah dalam dasawarsa 90-an ini, merupakan masa transisi kepada sebuah keberadaan umat manusia (condition humine, untuk meminjam istilah Andre Malraux) pada sebuah tataran yang baru sama sekali.

Setelah umat manusia, dalam sejarahnya yang panjang, menyaksikan penindasan dan pengingkaran hak-hak asasi manusia sebagai sesuatu yang diterima secara umum, maka kini seolah-olah sebuah fajar baru telah menyingsing, membawakan impian sebuah masyarakat universal yang disifati oleh terpenuhinya harkat dan martabat manusia secara utuh. Mungkin sebuah impian yang terlalu indah, tetapi harapan akan masyarakat baru itulah yang menggerakkan berbagai tuntutan dan gugatan yang dialamatkan kepada pemerintah semi-otoriter, otoriter dan totaliter di hampir semua kawasan dunia. Bahkan keangkeran kekuasaan sebuah partai berukuran raksasa, seperti Partai Komunis Cina, tidak membuat gentar hati mereka yang berdiri menghadang tank-tank di lapangan Tiananmen beberapa tahun yang lalu.

***

BERBAGAI tuntutan dan gugatan yang diajukan terhadap jalannya pemerintahan, yang tidak sejalan dengan undang-undang dasar banyak negara berkembang, memaksakan kepada kita sejumlah pertanyaan mendasar yang harus segera dijawab.

Mengapakah semua proses itu dapat berlangsung saat ini, padahal seluruh sejarah umat manusia memperlihatkan porsi penindasan dan pengingkaran hak-hak asasi manusia sebagai hal yang dianggap umum? Apakah hal ini manusia tidak terperosok lagi kepada kondisi lama yang berupa siklus penindasan oleh sang penguasa atas rakyat yang tidak berdaya, seperti yang terjadi dengan impian indah yang pernah diberikan oleh berbagai revolusi politik, setelah revolusi industri dua abad yang lalu, dan setelah tercapainya kemerdekaan dan kedaulatan politik dari pemerintahan kolonial di kalangan lebih dari seratus negara dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini? Masihkah tersisa harapan akan sebuah peradaban baru bagi umat manusia, yang dalam bahasa Pembukaan UUD 1945 dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur, setelah sekian lama apa yang sekarang dikenal sebagai ‘negara-negara berkembang’ (developing nations) hidup dalam kegelapan yang berciri kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar itu mungkin dapat ditemukan secara parsial dalam berbagai hasil pengamatan perkembangan keadaan di banyak negara berkembang saat ini. Salah satunya adalah pencarian akan makna ideologi sebagai kekuatan pengikat dalam hubungan antara warga negara secara perorangan maupun kelompok di satu pihak dan negara di pihak lain.

Kedudukan ideologi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa telah mengalami perubahan mendasar, dengan runtuhnya Komunisme sebagai kekuatan penopang yang menyangga Uni Soviet selama lebih dari 70 tahun dan menjadikannya kekuatan tandingan bagi negara adikuasa Amerika Serikat dan persekutuan Eropa Barat selama sekitar empat dasawarsa. Yang tersisa dari Komunisme sekarang hanyalah sebuah kerangka untuk memelihara kekuasaan politik monolit yang semakin hari semakin direpoti oleh dampak liberalisasi ekonomi dan perekonomian pasar terbuka (open-market economy) di hampir semua bidang kehidupan. Bahwa Partai Komunis Cina harus melakukan kompromi yang semakin hari semakin memperlemah dominasinya atas politik dalam negeri, menunjukkan bahwa Komunisme telah bertekuk lutut di hadapan Kapitalisme. Dengan demikian, salah satu pembenaran bagi terselenggaranya pemerintahan otoriter, yaitu adanya keperluan akan birokrasi yang kuat dan sistem politik yang menerapkan keseragaman sikap dan pandangan sebagai persyaratan bagi kemajuan, menjadi tertolak dengan sendirinya.

Keabsahan Otoriterisme itu sendiri sebenarnya lalu menjadi tidak relevan, karena Komunisme sebagai ideologi dunia (universal ideology) sudah kehilangan daya pemaksaan (co-orcive authority) yang melekat pada dirinya. Kalau ideologi adikuasa seperti Komunisme saja sudah tidak mampu memaksakan kehendak atas rakyat, apa pula yang dapat dilakukan oleh ideologi-ideologi lain yang tidak seperkasa ideologi Marxis-Leninis tersebut?

***

TERNYATA kehancuran ideologi adikuasa yang bersifat otoriter, seperti Komunisme, tidaklah dengan sendirinya membawakan era baru dalam kehidupan politik negara-negara berkembang, yaitu era pemerintahan yang tidak otoriter. Bahkan sebaliknya, upaya mengokohkan sistem politik yang otoriter dilakukan dengan cara yang semakin gigih di banyak negara berkembang.

Salah satu dampak sampingan dari kehancuran Komunisme, yaitu merapuhnya sistem pemerintahan berlingkup negara-negara (nation-state) dan terkeping-kepingnya sejumlah negara bangsa menjadi entitas kecil-kecil yang berlandaskan kesatuan etnis dan kesatuan-kesatuan sub-nasion lainnya, justru memunculkan kebutuhan penguatan kekuasaan birokrasi di sejumlah negara berkembang. Secara canggih, kemasan yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan otoriter dibuat sedemikian indah, guna memungkinkan penerimaannya secara luas. Ketika sikap mengutamakan kedaulatan politik suatu bangsa atas negerinya sendiri tidak lagi mampu membendung berbagai gugatan dan tuntutan akan kebebasan, dikembangkanlah paham-paham atau pemikiran-pemikiran seperti relativitas budaya.

Menurut pandangan ini, suatu bangsa hanya dapat dipertahankan manakala watak dasar bangsa itu sendiri dapat dilestarikan. Watak dasar integralistik yang dimiliki bangsa kita, umpamanya, merupakan salah satu argumen yang senantiasa dikemukakan untuk menolak keabsahan gagasan kebebasan politik penuh bagi warga negara di hadapan kekuasaan pemerintah.

Dikesankan dengan cara demikian, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa akan terancam pengepingan dan terbenam dalam kekacauan apabila tidak menempuh sistem politik yang berlandaskan paham integralistik. Liberalisme dan demokrasi liberal, sebagai tandingan bagi sistem integralistik, lalu diangkat menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa kita dan bahaya yang mengancam kelestarian hidup kita.

Lebih jauh lagi, tuntutan akan kebebasan dan desakan untuk menerapkan hak-hak asasi manusia, lalu disamakan begitu saja dengan Liberalisme sebagai paham dan demokrasi liberal sebagai cara penerapan paham tersebut.

Paham integralistik yang sedang menghadapi tuntutan dan gugatan di atas, lalu berpretensi menjadi pelindung aliran-aliran primordial dan cara hidup unik yang telah dikembangkan bangsa kita selama ini. Hak-hak asasi manusia yang bersifat universal, yang dianggap sebagai paksaan dari Barat, lalu dihadapkan kepada unikum yang bernama Hukum Islam.

Beberapa sisi dari Hukum Islam, yang memang berbeda dari atau berlawanan dengan hak-hak asasi manusia yang universal itu, seolah-olah sudah menjadi aksioma yang tidak menerima penafsiran ulang lagi. Padahal kajian mendalam justru menampilkan luasnya bentangan-bentangan penafsiran ulang yang dapat dilakukan terhadap rumusan-rumusan Hukum Islam tentang hak-hak asasi manusia.

Bahwa kehendak Allah dapat dirumuskan melalui kehendak kolektif umat manusia adalah salah satu di antar watak dasar kehidupan yang dapat disumbangkan kaum muslimin kepada peradaban umat manusia. Dengan upaya yang dilakukan oleh para pakar atas sejumlah unikum yang dianggap telah diwakili oleh sistem politik integralistik yang digunakan di negeri ini, menjadi terbukti bahwa Partikularisme tidak layak lagi dipertimbangkan sebagai penyusunan doktrin politik yang mewarnai kehidupan bangsa. Justru sebaliknya, berbagai unikum yang ada akan saling berbenturan apabila dilayani oleh sistem pemerintahan masing-masing secara khusus. Partikularisme akan memperlunak kehadiran negara bangsa dalam kehidupan kita.

Demikian pula dengan tradisi-tradisi kultural, etnis dan keagamaan lainnya yang dihadapkan sebagai entitas-entitas partikular kepada hak-hak asasi manusia yang universal. Entitas-entitas partikular kepada hak-hak asasi manusia yang universal.

***

KECENDERUNGAN menekankan hal-hal partikular atas universalitas hak-hak asasi manusia dan relativitas kultural atas mutlaknya tuntutan akan kebebasan, sebenarnya merupakan pengalihan perhatian dari keharusan menciptakan kerangka kemasyarakatan dan keagamaan yang cukup tangguh untuk mempertahankan capaian-capaian yang telah dihasilkan di berbagai bidang pembangunan, sementara kesiapan untuk melakukan finalisasi bentuk-bentuk pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan belum dapat dituntaskan.

Dengan ungkapan lain, elit yang sedang berkuasa belum mampu menciptakan tradisi politik yang cukup kuat untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi di antara pusat-pusat kekuasaan (power centers) yang terlibat dalam percaturan politik, tanpa menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan bangsa. Perubahan personalia pemerintahan masih cenderung berbentuk perubahan sistem pemerintahan. Karenanya akan selalu ada keengganan untuk melepaskan kendali atas jalannya roda pemerintahan kepada pihak yang lain.

Salah satu dari manifestasi sikap itu adalah kecenderungan kuat untuk menolak kehadiran pihak oposisi dalam lembaga perwakilan rakyat di negara-negara berkembang. Kalau oposisi diperkenankan, seperti di Malaysia dan Singapura, segala macam aturan yang sebenarnya bersifat ekstra-konstitusional bagi pihak oposisi untuk memenangkan pemilihan umum.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa masalah hak-hak individual warga negara, yang sebenarnya merupakan aturan-aturan yang membatasi kekuasaan negara dalam hubungan eksternalnya dengan masyarakat, telah ditarik langsung ke dalam lingkup percaturan internal di antara pusat-pusat kekuasaan yang ada. Sudah tentu menjadi tidak mungkin diterima obyektivitas hak-hak individual itu oleh subyektivitas kepentingan pihak pemegang kekuasaan.

Kedewasaan sistem pemerintahan di kebanyakan negara berkembang sebenarnya sangat ditentukan oleh kemampuan membedakan hal-hal yang secara inheren harus diterima sebagai kenyataan obyektiv, dan memisahkannya dari posisi subyektif para pemegang kekuasaan.

***

SEBAGAIMANA dikemukakan di atas, upaya mengokohkan pemerintahan otoriter dan semi-otoriter, seperti yang terjadi di negeri kita saat ini, adalah salah satu jawaban terhadap irrelevansi ideologi-ideologi universal, seperti Komunisme, di hadapan kekuatan ekonomi kapitalistik yang berwajah ekonomi pasar bebas. Kalau sudah negara-bangsa adikuasa seperti Uni Soviet tidak terhindar dari disintegrasi dengan bertumpu kepada sebuah ideologi universal, sudah tentu harus ada substitusi ideologis yang dijadikan tumpuan bagi kelanjutan konsep negara-negara itu. Salah satu substitusi yang ditampilkan adalah ideologi nasional yang difungsikan sebagai pemersatu seluruh unsur-unsur kehidupan bangsa dan sekaligus pemberi legitimasi bagi sistem pemerintahan yang ada.

Kedudukan ideologi yang berlingkup nasional seperti itu, termasuk di dalamnya Pancasila sebagai ‘ideologi nasional’ bangsa kita menjadi sangat sentral dalam kehidupan bangsa dan negara. Ia merupakan ikatan formal yang diturunkan dari Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-Undang Dasar, dan kemudian dikembangkan terlepas dari keseluruhan Undang-Undang Dasar itu sendiri. Dalam kerangka seperti ini ideologi lalu dikembangkan menurut visi dan kebutuhan sesaat dari sistem pemerintahan yang ada. Seringkali dengan mengingkari rumusan-rumusan dan semangat Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber asalnya.

Undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat atas nama ideologis nasional yang dikembangkan terlepas dari ketentuan harfiah dan semangat undang-undang dasar, dengan demikian lalu berfungsi sebagai organ dari ideologi nasional itu, dan oleh karenanya tidak boleh ditinjau dari sudut pandang Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar itu sendiri.

Kontradiksi mendasar antara undang-undang dasar di satu pihak, dan ideologi nasional sebagai perangkat derivatif yang menafsirkannya dalam jabaran-jabaran lebih lanjut di pihak lain, dengan demikian lalu menjadi tidak terelakkan lagi. Guna memberikan legitimasi bagi penerapan ideologi negara dengan cara seperti itu, mau tidak mau lalu memaksa pihak pemegang kekuasaan untuk melakukan upaya ideologisasi segenap bidang kehidupan secara massif dan intensif.

Indoktrinasi sebagai sebuah proses ideologisasi dilangsungkan secara besar-besaran, terutama dengan menampilkan dua sisi yang saling berbeda. Di satu sisi, dilakukan penggalian atas nilai-nilai luhur bangsa, yang kemudian dilekatkan kepada ideologi nasional sebagai ‘bukti’ dari relevansi ideologi nasional itu sendiri bagi kehidupan bangsa. Di sisi lain, dilakukan upaya untuk melakukan teorisasi yang baku dan konseptualisasi yang menyeluruh atas cakupan-cakupan nasional itu dalam kehidupan. Dengan ungkapan lain, nilai-nilai ukur yang sudah dianggap baku ternyata masih harus dikembangkan dalam sebuah proses pembakuan, yang tentunya merupakan perkembangan yang saling bertolak belakang.

Dengan terjadinya kecenderungan perkembangan berlingkar antara dua proses pembakuan di atas, artikulasi dari proses ideologisasi itu sendiri lalu kehilangan makna dan kejalasan pengertian, sehingga yang tertinggal hanyalah proses ideologisasi sebagai pemberian legitimasi kepada sistem pemerintahan yang ada. Dengan demikian ideologi lalu hanya berfungsi sebagai pembenaran kebijakan para pemegang kekuasaan, dan sangat kurang berfungsi sebagai alat pelestarian persatuan dan kesatuan bangsa.

***

BERFUNGSINYA ideologi dalam konteks sangat terbatas seperti digambarkan di atas, dan berlangsungnya proses ideologisasi yang tidak punya makna banyak bagi kehidupan bangsa, dengan sendirinya membuat bertambah lebarnya kawasan kosong bagi rakyat, yang seharusnya diisi oleh pengembangan hak-hak para warga negara yang menjadi kebutuhan obyektif bagi seluruh bangsa. Tanpa pemenuhan hak-hak individual para warga negara secara tuntas, sebagaimana telah dijamin oleh Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar, proses ideologisasi hanya akan semakin menghilangkan kepercayaan rakyat kepada sistem pemerintahan yang ada.

Ideologi yang luhur dan mulia, ternyata tidak diwujudkan dalam perilaku pemerintahan yang sesuai dengan tujuan dan semangat Undang-Undang Dasar, yaitu berlangsungnya pemerintahan yang memiliki kewenangan terbatas dalam mengatur kehidupan masyarakat. Negara lalu tampak sebagai kekuasaan pihak yang memerintah, bukannya sebagai pelaksanaan sistem pemerintahan yang bercirikan kedaulatan hukum.

Jelaslah dari apa yang diuraikan di muka, bahwa hubungan antara individu dan negara berlangsung dalam sebuah pola yang sangat rumit, yang lebih bertambah rumit lagi ketika proses ideologisasi dilaksanakan secara besar-besaran. Terjadi tumpang tindih wewenang, tugas dan tanggung jawab antara ideologi dan undang-undang dasar sebagai instrumen utama berlangsungnya kehidupan bernegara dan berbangsa.

Keadaan tumpang tindih itu akan semakin mempersulit upaya mendekatkan kenyataan kepada cita-cita perjuangan semula. Apakah keadaan semacam ini, yang di satu pihak mengacu kepada lebih menguatnya kekuasaan negara atas kerugian hak-hak individual warga negara dan di pihak lain semakin melemahnya posisi undang-undang dasar dihadapan ideologi nasional itu sendiri, akan berakibat pada proses lebih lanjut semakin melemahnya kohesi bangsa dan relevansi wawasan negara-bangsa, masih belum dapat diterka pada saat ini. Sejarahlah yang akan memberikan jawaban, seperti selalu terbukti selama ini.

 

Jakarta, 2 Februari 1994

Abdurrahman Wahid, budayawan

Tulisan ini dimuat di Harian KOMPAS Jumat, 04-02-1994. Halaman: 4

Leave a comment