Posted in Artikel Gus Dur

UNIVERSALISME ISLAM DAN KOSMOPITANISME PERADABAN ISLAM

 (Catatan Tentang Islam Gus Dur)

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting dan yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlaq, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka) dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat dimuka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kedzaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas. Sementara itu, universalisme yang tercermin dalam ajaran-ajaran yang memiliki kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan itu diimbangi pula oleh kearifan yang muncul dari keterbukaan peradaban Islam sendiri.

Keterbukaan yang membuat kaum Muslim selama sekian abad menyerap segala macam manifestasi kultural dan wawasan keilmuan yang datang dari pihak peradaban-peradaban lain, baik yang yang masih ada waktu itu maupun yang sudah mengalami penyusutan luar biasa (seperti peradaban Persia). Kearifan yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi antara peradaban-peradaban yang dikenal itu, di kawasan “Dunia Islam” waktu itu, yang kemudian mengangkat peradaban Islam ke tingkat sangat tinggi, hingga menjadi apa yang disebutkan sejarawan agung Arnold J. Toynbee sebagai oikumene peradilan dunia Islam. Oikumene Islam ini, menurut Toynbee, adalah salah satu di antara enam belas oikumene yang menguasai dunia. Kearifan dari oikumene Islam itulah yang paling tepat untuk disebut sebagai kosmopolitanisme peradaban Islam. Kisah kedua wajah Islam itu, universalisme ajaran dan kosmopolitanisme peradaban akan disajikan pada kesempatan ini.

Salah satu ajaran yang dengan sempurna menampilkan universalisme Islam adalah lima buah jaminan dasar yang diberikan agama samawi terakhir ini kepada warga masyarakat baik secara perorangan maupun sebagai kelompok. Kelima jaminan dasar itu tersebar dalam literatur hukum agama al-kutub al-fiqhiyyah lama, yaitu jaminan dasar akan (1) keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum, (2) keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama, (3) keselamatan keluarga dan keturunan, (4) keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum, dan (5) keselamatan profesi. Jaminan akan keselamatan fisik warga masyarakat mengharuskan adanya pemerintahan berdasarkan hukum, dengan perlakuan adil kepada semua warga masyarakat tanpa kecuali, sesuai dengan hak masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warganya, sedangkan kedua jenis persamaan itulah yang menjamin terwujudnya keadilan sosial dalam arti sebenar-benarnya. Sedangkan kita ini mengetahui, bahwa pandangan hidup Worldview, Weltanschauung paling jelas universalitasnya adalah pandangan keadilan sosial.

Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antar-warga masyarakat atas dasar sikap saling hormat-menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar. Terlepas dari demikian kentalnya perjalanan sejarah dengan penindasan, kesempitan pandangan, dan kedzaliman terhadap kelompok minoritas yang berbeda keyakinan agamanya dari keyakinan mayoritas, sejarah umat manusia membuktikan bahwa sebenarnya toleransi adalah bagian inherent dari kehidupan manusia.
Sejarah persekusi dan represi adalah sejarah “orang besar”, walaupun sasarannya selalu “orang kecil”. Dalam menerima persekusi dan represi tanpa keputusan wong cilik membuktikan kekuatan toleransi dan sikap tenggang rasa dalam membangun masyarakat. Justru toleransilah yang melakukan transformasi sosial dalam skala massif sepanjang sejarah. Bahkan sejarah agama membuktikan munculnya agama sebagai dobrakan moral atas kungkungan ketat dari pandangan yang dominan, yang berwatak menindas, seperti dibuktikan oleh Islam dengan dobrakannya atas ketidakadilan wawasan hidup jahiliyyah yang dianut mayoritas orang Arab waktu itu. Dengan tauhid, Islam menegakkan penghargaan kepada perbedaan pendapat dan perbenturan keyakinan. Jika perbedaan pandangan dapat ditolerir dalam hal paling mendasar seperti keamanan, tentunya sikap tenggang rasa lebih lagi diperkenankan dalam mengelola perbedaan pandangan politik dan ideologi. Tampak nyata dari tilikan aspek ini, bahwa Islam melalui ajarannya memiliki pandangan universal, yang berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan.

Jaminan dasar akan keselamatan keluarga menampilkan sosok moral yang sangat kuat, baik moral dalam arti kerangka etis yang utuh maupun dalam arti kesusilaan. Kesucian keluarga dilindungi sekuat mungkin, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh sistem kekuasaan yang ada.

Kesucian keluarga inilah yang melandasi keimanan yang memancarkan toleransi dalam derajat sangat tinggi. Dalam kelompok masyarakat lebih besar, selalu terdapat kecenderungan untuk melakukan formalisasi ajaran secara berlebihan, sehingga menindas kebebasan individu untuk menganut kebenaran, kelompok supra-keluarga senantiasa mencoba menghilangkan, atau setidak-tidaknya mempersempit, ruang gerak individu warga masyarakat untuk melakukan eksperimentasi dengan pandangan hidupnya sendiri, dan untuk menguji garis batas kebenaran keyakinan. Padahal upaya melakukan uji coba seperti itulah yang akan menajamkan kebenaran masing-masing keyakinan pandangan maupun pemahaman. Islam memberikan kebebasan untuk melakukan upaya perbandingan antara berbagai keyakinan, termasuk keimanan kita, dan dalam proses itu membuktikan keampuhan konsep keimanan sendiri. Di samping kebenaran yang dapat diraih melalui pengalaman esoteris, Islam juga memberikan peluang bagi pencapaian kebenaran melalui proses dialektis. Justru proses dialektis inilah yang memerlukan derajat toleransi sangat tinggi dari pemeluk suatu keyakinan, dan Islam memberikan wadah untuk itu, yaitu lingkungan kemasyarakatan terkecil yang bernama keluarga. Di lingkungan sangat kecil itulah individu dapat mengembangkan pilihan-pilihannya tanpa gangguan, sementara kohesi sosial masih terjaga karena keluarga berfungsi mengintegrasikan warganya secara umum ke dalam unit kemasyarakatan yang lebih besar.

Jaminan dasar akan keselamatan harta-benda (al-milk, property) merupakan sarana bagi berkembanguya hak-hak individu secara wajar dan proporsional, dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu. Masyarakat dapat menentukan kewajiban-kewajibannya yang diinginkan secara kolektif atas masing-masing individu warga masyarakat. Tetapi penetapan kewajiban itu ada batas terjauhnya, dan warga masyarakat secara perorangan tidak dapat dikenakan kewajiban untuk masyarakat lebih dari batas-batas tersebut. Batas paling praktis, dan paling nyata jika dilihat dari perkembangan Sosialisme dan terutama Marxisme-Leninisme saat ini, adalah pemilikan harta-benda oleh individu. Dengan hak itulah warga masyarakat secara perorangan memiliki peluang dan sarana untuk mengembangkan diri melalui pola atau cara yang dipilihnya sendiri, namun tetap dalam alur umum kehidupan masyarakat.

Sejarah ummat manusia menunjukkan bahwa hak dasar akan pemilikan harta-benda inilah yang menjadi penentu kreativitas warga masyarakat, berarti kesediaan melakukan transformasi itulah warga masyarakat memperlihatkan wajah universal kehidupannya?

Jaminan dasar akan keselamatan profesi menampilkan sosok lain lagi dari universalitas ajaran Islam. Penghargaan kepada kebebasan penganut profesi berarti kebebasan untuk melakukan pilihan-pilihan atas resiko sendiri, mengenai keberhasilan yang ingin diraih dan kegagalan yang membayanginya. Dengan ungkapan lain, kebebasan menganut profesi yang dipilih berarti peluang menentukan arah hidup lengkap dengan tanggung jawabnya sendiri. Namun pilihan itu tetap dalam kerangka alur umum kehidupan masyarakat, karena pilihan profesi berarti meletakkan diri dalam alur umum kegiatan masyarakat, yang penuh dengan ukuran-ukurannya sendiri. Ini berarti keseimbangan cair yang harus terus-menerus dicari antara hak-hak individu dan kebutuhan masyarakat, sebuah kondisi situasional yang serba eksistensial sebagai wadah untuk menguji kebenaran keyakinan dalam rangkaian kejadian yang tidak terputus-putus: Bolehkah saya lakukan hal ini dari sudut pandangan keimanan saya, padahal diharuskan oleh profesi saya? Rasanya tidak ada yang lebih universal dari pencarian jawaban akan wujud kebenaran dalam rangkaian kejadian seperti disajikan oleh tantangan dari dunia profesi itu.

Secara keseluruhan, kelima jaminan dasar di atas menampilkan universalitas pandangan hidup yang utuh dan bulat. Pemerintahan berdasarkan hukum, persamaan derajat dan sikap tenggang rasa terhadap perbedaan pandangan adalah unsur-unsur utama kemanusiaan, dan dengan demikian menampilkan universalitas ajaran Islam. Namun, kesemua jaminan dasar itu hanya menyajikan kerangka teoretis (atau mungkin bahkan hanya moralistik belaka) yang tidak berfungsi, juga tidak didukung oleh kosmopolitanisme peradaban Islam. Watak kosmopolitan dari peradaban Islam itu telah tampak sejak awal pemunculannya. Peradaban itu, yang dimulai dengan cara-cara Nabi Muhammad SAW mengatur pengorganisasian masyarakat Madinah hingga munculnya para ensiklopedis Muslim awal (seperti al-Jahiz) pada abad ketiga Hijri, memantulkan proses saling menyerap dengan peradaban-peradaban lain di sekitar Dunia Islam waktu itu, dari sisa-sisa peradaban Yunani kuno yang berupa hellenisme hingga peradaban anak benua India.

Kosmopolitanisme peradaban Islam itu muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yaitu kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Kalau ditelusuri dengan cermat perdebatan sengit di bidang teologi dan hukum agama selama empat abad pertama sejarah Islam, akan tampak secara jelas betapa beragamnya pandangan yang dianut oleh kaum Muslim waktu itu. Kalaupun hal itu dianggap sebagai kemelut kehidupan beragama kaum Muslim, karena tidak adanya konsensus atas hal-hal dasar, maka harus juga dibaca dengan cara lain bahwa pemikir Muslim telah berhasil mengembangkan watak kosmopolitan dalam pandangan budaya dan keilmuan mereka, karena mampu saling berdialog secara demikian bebas. Kebebasan kaum Mu’tazilah untuk mempertanyakan kebenaran ajaran sentral bahwa al-qur’an turun dalam bentuk huruf dan bahasa yang sekarang dikenal (bahasa Arab, huruf Hija’iyyah) dan menganggap kitab suci kaum Muslim tersebut diturunkan hanya secara maknawi belaka, sesuatu yang sekarang tentunya dianggap sikap seorang murtad dari agama Islam, adalah dari pertanda kuatnya watak kosmopolitan dari peradaban Islam waktu itu. Pertanyaan bagaimanapun gilanya mendapatkan peluang untuk diutarakan dengan bebas. Dalam situasi seperti itu tokh tidak ada bahaya apapun bagi Islam, karena proses dialog serba dialektik akan memunculkan koreksi budayanya sendiri, yang dalam kasus Mu’tazilah mengambil bentuk koreksi al-Asy’ari, al-Maturidi, dan al-Baqillani yang berujung pada ilmu kalam skolastik dari kaum Sunni. Koreksi itu pun memperlihatkan watak kosmopolitan, karena ia tidak muncul sebagai hardikan atau tuntutan ilegal-yuridis, melainkan sebagai perdebatan ilmiah yang tidak mengambil sikap mengadili atau menghakimi. Baru ketika kemapanan masyarakat Islam mengambil tindakan melarang perdebatan ilmiah sajalah, sambil memproklamasikan ajaran-ajaran al-Asy’ari dan kawan-kawan sebagai kebenaran ajaran Islam, watak kosmopolitan dari peradaban Islam mulai terputus dengan sendirinya.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan antara kecenderungan normative kaum Muslim dan kebebasan berpikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-Muslim). Kosmopolitanisme seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya nyata dalam postulat-postulat spekulatif belaka.

Benarkah ajaran Islam menjamin persamaan hak dan derajat di antara sesama warga masyarakat? Mungkinkah keadilan diwujudkan secara konkrit dalam bentuk kemasyarakatan faktual? Jarak yang demikian sempit antara kebebasan berfikir di satu pihak dan imperatif norma-norma ajaran agama memerlukan upaya luar biasa dari para pemikir, budayawan dan negarawan untuk menjaga jarak antara keduanya, agar tidak saling menghimpit. Ketegangan intelektual atau intellectual tension yang mewarnai situasi seperti itu akan memotori kosmopolitanisme yang menjadi keharusan bagi universalisasi nilai-nilai luhur yang ditarik dari ajaran Islam secara keseluruhan.

Dalam semangat seperti itulah para zahid (kaum asketik) Muslim dahulu mengembangkan peradaban Islam. Imam Hasan al-Basri yang demikian dalam tasawufnya, ternyata juga adalah ilmuwan di bidang bahasa. Imam al-Khalil ibn Ahmad al-Farahidi yang dengan kesalehannya yang luar biasa, ternyata adalah peminat filsafat Yunani kuno, terbukti dari karya agung beliau, Qamus al-A’ain, yang sepenuhnya menggunakan pembagian ilmu pengetahuan melalui kategorisasi filsafat Yunani. Imam Syafi’I mujtahid di bidang hukum agama (fiqh), justru menundukkan proses pengambilan hukum agama istinbat al-ahkam kepada sejumlah kaidah metodologis tertentu, bukannya hanya sekadar menarik hukum dari Al-qur’an dan Sunnah Nabi belaka. Kelahiran usul fiqh sebagai teori hukum, sebenarnya merupakan proses kreatif yang dapat mempertemukan antara kebutuhan masa dan norma ajaran agama, namun sangat disayangkan ia akhirnya menjadi alat yang dipergunakan oleh para penganut fiqh secara tidak kreatif dan dengan sendirinya berubah fungsi menjadi alat seleksi yang sangat normatif dan mematikan kreativitas.

Sebuah agenda baru dapat dikembangkan sejak sekarang untuk menampilkan kembali universalitas ajaran Islam dan kosmopolitanisme peradaban Islam di masa datang. Pengembangan agenda baru itu diperlukan, mengingat kaum Muslim sudah menjadi kelompok dengan pandangan sempit dan sangat eksklusif, sehingga tidak mampu lagi mengambil bagian dalam kebangunan peradaban manusia yang akan muncul di masa pasca-indrustri nanti (yang sekarang sudah mulai nampak sisi pinggirannya dalam cibernetika dan rekayasa biologis). Kaum Muslim bahkan merupakan beban bagi kebangkitan peradaban bagi umat manusia nanti. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim hanya akan menjadi obyek perkembangan sejarah, bukannya pelaku yang bermartabat dan berderajat penuh seperti yang lainnya. Jika itu yang diinginkan, mau tidak mau haruslah dikembangkan agenda universalisasi ajaran Islam, sehingga terasa kegunaannya bagi umat manusia secara keseluruhan. Toleransi, keterbukaan sikap, kepedulian kepada unsur-unsur utama kemanusiaan dan keprihatinan yang penuh kearifan akan keterbelakangan kaum Muslim sendiri akan memunculkan tenaga luar biasa untuk membuka belenggu kebodohan dan kemiskinan yang begitu kuat mencekam kehidupan mayoritas kaum Muslim dewasa ini. Dari proses itu akan muncul kebutuhan akan kosmopolitanisme baru yang selanjutnya, akan bersama-sama faham dan ideologi lain-lain, turut membebaskan manusia dari ketidakadilan struktur sosial-ekonomi dan kebiadaban rejim-rejim politik yang dhalim. Hanya dengan menampilkan universalisme baru dalam ajarannya dan kosmopolitanisme baru dalam sikap hidup para pemeluknya, Islam akan mampu memberikan perangkat sumber daya manusia yang diperlukan oleh si miskin untuk memperbaiki nasib sendiri secara berarti dan mendasar, melalui penciptaan etika sosial baru yang penuh dengan semangat solidaritas sosial dan jiwa transformatif yang prihatin dengan nasib orang kecil.

Penulis adalah ketua dewan syura DPP PKB. 

Posted in Artikel Gus Dur

MUHAMMADIYAH-NU: PERBEDAANKAH ATAU PERPECAHAN?

 (Ctatan Tentang Islam Gus Dur)

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Ketika Muhammadiyah didirikan pada tahun 1912, KH M Hasyim Asy’ari dari Tebuireng, Jombang, menanyakan siapa pendirinya. Mendengar jawaban KH Ahmad Dahlan, beliau ganti bertanya, adakah orang itu santri yang bersama beliau mengaji pada KH Sholeh Darat (Semarang)? Ketika memperoleh kepastian bahwa KH Ahmad Dahlan itu adalah orang yang dimaksud tersebut, beliau mengatakan tentu Muhammadiyah organisasi yang baik, karena tokoh pendiri tersebut adalah orang baik. Hal ini dapat kita benarkan, kalau kita ikuti sejarah Muhammadiyah. Tekanan pada pendidikan, kesehatan dan kegiatan-kegiatan sosial menunjukkan hal itu dengan nyata.

Hal ini jugalah yang tampak dari pergaulan KH M Bisri Syansuri, ketika beliau menjadi anggota PBNU, dan praktis menguasai Majelis-Majelis Hukum Agama (Majaalis al-Figh)—sebelum beliau membawa pendapat-pendapatnya ke forum tersebut, beliau selalu pergi ke Yogyakarta, untuk memperdebatkannya dengan KH Hadjid dari Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah. Terkadang mereka bisa berdebat selama tiga hari berturut-turut dan terkadang pula mereka bersama pergi ke rumah KH Adzkiya di Kroya (Pak Tua Ir. Musthofa Zuhad, dari PBNU sekarang) untuk maksud yang sama. Baru setelah itu, KH M Bisri Syansuri memaparkan “pendapatnya” kepada forum-forum di atas, yaitu setelah melalui “uji-coba” dengan kedua orang tersebut. Kelihatan sekali, antara mereka tidak ada jarak yang harus dijembatani, karena perbedaan pendapat di antara mereka adalah hal yang biasa, seperti perbedaan pendapat dengan iparnya, KH A Wahab Chasbulah.

Penulis pernah tinggal selama tiga tahun (1954-1957) di rumah KH M Djunaidi di Kauman, Yogyakarta. Di tempat itu, penulis sering melihatnya berdebat sangat lama tentang soal-soal figh, dengan tokoh NU KH Ali Ma’sum dari Pondok Pesantren Krapyak, yang belakangan menjadi Rais ‘Am PBNU. Padahal, induk semang penulis, KH M Djunaidi itu belakangan menjadi anggota Majelis Tarjih (Dewan Agama) PP Muhammadiyah. Di sini, tampak jelas bagi penulis, adanya keakraban antara tokoh-tokoh puncak NU dan Muhammadiyah tersebut.

***

Pertanyaan utamanya adalah, kita melihat keakraban tersebutkah dalam menilai hubungan Muhammadiyah dan NU, atau justru sebaliknya? Justru yang kita lihat sehari-hari, sikap fanatik baik dari orang-orang NU maupun dari orang-orang Muhammadiyah sendiri, hingga terkadang tampak sebagai pertentangan dan perpecahan, bukannya sebagai perbedaan. Ini sangat diperlukan, karena tanpa memperoleh jawaban yang tepat, perpecahan dalam tubuh kedua organisasi Islam terbesar di negeri kita itu tampak semakin menjadi-jadi. Tentu ini tidak kita inginkan, sehingga kalau memang benar-benar keduanya berpecah dan bertentangan, hendaknya dapat diarahkan kepada perbedaan saja. Ini adalah proses pendidikan yang berlangsung lama, namun tak dapat terhindarkan.

Salah satu sebab mengapa tampak yang terjadi adalah pertentangan, dan bukannya perbedaan, adalah akibat tekanan kedua-duanya atas institusi atau lembaga, dalam hal ini kedua organisasi tersebut. Tekanan pada kelembagaan, membawakan keharusan untuk mempertahankan kepentingan/interest kedua perkumpulan tersebut, yang masing-masing bertabrakan satu sama lain. Pihak sendiri harus dimenangkan, dan pihak lain harus di”kalah”kan. Jadilah seolah-olah mereka saling berhadapan, padahal dalam kenyataan mereka menganut corak kehidupan yang sama yaitu mementingkan akhlak/moralitas/etika. Terkenal dengan ucapan H Munawir Sadzali, mantan menteri agama kita, bahwa di Muhammadiyah ada orang NU bernama Ahmad Azhar Basyir (Ketua Umum PP Muhammadiyah saat itu, dan di lingkungan PBNU ada orang Muhammadiyah bernama Abdurrahman Wahid), yang membawakan pembaharuan-pembaharuan.

Bahwa kedua perkumpulan itu memiliki persamaan-persamaan penting, jarang sekali diingat. Pertama, kedua-duanya mengacu pada tujuan kemaslahatan umat, yang dalam literatur kita umumnya disebut kesejahteraan rakyat. Pembukaan UUD kita, yang dibuat antara lain oleh tokoh-tokoh kedua organisasi itu, merumuskan hal itu sebagai masyarakat adil dan makmur. Jadi, tak benarlah ungkapan salah seorang Kyai NU; alhamdulilah, keluarga besar kita semuanya beraqidah Islam, minimal Muhammadiyah. Menanggapi hal ini, Ahmad Azhar Basyir memberikan komentar, di Muhammadiyah juga banyak orang yang menganggap NU minimal.

***

Aspek lain yang jarang dilihat orang, yakni perlakuan Keraton Hamengkubuanan di Yogyakarta. Keraton tersebut “merangkul” kedua-duanya, dengan menyantuni NU (melalui status “Masjid Pethok Nagari” di Mlangi dan Wonokromo) serta tetap membiarkan KH Ahmad Dahlan menjadi penghulu keraton setelah mengadakan pembaharuan dengan mendirikan Muhammadiyah. Jadi, baik tradisionalisme maupun pembaharuan sama-sama memperoleh santunan dari keraton, yang sekarang bertambah dengan kebiasaan “sema’an” al-Qur’an yang dahulu dirintis oleh alm. Kyai Hamim Jazuli (Gus Mik).

Kedua hal yang berbeda itu, yakni tradisionalisme Nu dan pembaharuan Muhammadiyah, seringkali melupakan kita. Dari sesuatu yang sangat penting: Islamisasi terbatas/limited Islamization—yang, dirintis Sultan Agung Hanyokro Kusumo, dengan pemakaian hukum-hukum nikah figh sebagai “peraturan” di keraton dan pemakaian bulan Muharom sebagai permulaan tahun Saka, ini dilanjutkan oleh pimpinan keraton.

Tentunya, ini harus memperhitungkan kenyataan bahwa—untuk beberapa dasawarsa, cara kehidupan “sekuler” yang tidak mau tahu dengan ajaran agama sempat menerapkan dominasinya atas masyarakat kita, termasuk keraton.

Dengan demikian jelaslah, bahwa keraton Hamengkubuanan memperlakukan Muhammadiyah dan NU, sebagai sebuah budaya, dengan tidak mementingkan institusinya. Ini adalah tindakan yang sangat bijaksana, yang sudah sepatutnya ditiru dan dicontoh oleh para pimpinan kedua organisasi tersebut.

Dengan ungkapan lain, baik tradisionalisme NU maupun pembaharuan Muhammadiyah haruslah diukur secara budaya, dan bukannya secara kelembagaan. Bukankah kini anak-anak muda kedua belah pihak sering dihadapkan kepada tantangan budaya modern yang menjauhkan mereka dari akar-akar budaya masa lampau? Bukankah ini melupakan kita dari kenyataan adanya orang-orang Muhammadinu, yang seringkali sudah tidak melihat relevansi pemisahan keduanya. Kalau saja kita menjadi dewasa dalam hal ini, kita akan melihat keadaan NU dan Muhammadiyah, bukannya pertentangan dan perpecahan antara keduanya.

 

Paso, 10/3/2002

Penulis adalah ketua dewan syura DPP PKB

Posted in Artikel Gus Dur, Uncategorized

MASA DEPAN DEMOKRASI DI INDONESIA

(Catatan Demokrasi Gus Dur)

DALAM era reformasi seperti sekarang ini timbul suatu pertanyaan; mungkinkah demokrasi di Indonesia dapat ditegakkan pada periode setelah pemilu yang akan datang? Jawaban atas pertanyaan di atas adalah tidak. Pernyataan ini tentulah mengejutkan banyak pihak, karena dalam kenyataan telah terjadi perubahan besar dalam panggung politik yang lebih memberikan peluang bagi tegaknya demokrasi seperti berdirinya beberapa partai politik yang hampir semuanya bertujuan menegakkan demokrasi. Partai-partai tersebut juga didukung oleh cendekiawan, lembaga swadaya masyarakat (LSM), mahasiswa, serikat-serikat buruh, dan media massa. Siapa yang berani memberikan jawaban negatif atas pertanyaan di atas akan dimusuhi banyak orang. Hanya kejujuran yang murni sajalah yang dapat mendorong orang berbicara seperti itu secara terbuka dalam media massa.

Mengapa artikel ini dimulai dengan pertanyaan di atas? Karena penulis yakin bahwa konstelasi politik yang ada belum memungkinkan tumbuhnya demokrasi yang sebenarnya karena masih banyaknya rekayasa dan intrik yang berlaku. Di samping itu, masih ada lembaga-lembaga pemerintahan yang mempertahankan status-quo. Demikian pula undang-undang pemilu dan sistem politik yang ada masih memungkinkan terjadinya hal itu. Dan yang lebih penting tradisi kita belum melahirkan budaya politik yang sehat.

***

APAKAH ini berarti kita akan kembali pada masa Orba, yang berisi kenyataan pahit bahwa pemerintah pusat menguasai segala-galanya? Dan bukankah ini juga berarti pemerintahan akan diserahkan kepada satu orang saja? Kalau kita bersedia melakukan perubahan dan pembenahan yang serius dan efektif tentulah hal ini tidak akan terjadi. Perubahan mendasar yang perlu dilakukan di antaranya adalah pola hubungan antara pusat dan daerah yang lebih berimbang. Ini penting dilakukan kalau Indonesia ingin tetap menjadi satu negara yang utuh (negara kesatuan).

Misalnya dalam hal pembagian devisa antara pusat dan daerah yang dulu mayoritas diambil oleh pusat dan hanya sebagian kecil yang kembali ke daerah. Sekarang harus dibalik, sebagian besar katakanlah 70 persen untuk daerah asal yang menghasilkan devisa dan 30 persen untuk pemerintah pusat. Dengan penghasilan itu plus penghasilan pusat dari pendapatan nonekspor (pajak, cukai dsb) cukup untuk biaya pemerintah pusat dan daerah-daerah miskin.

Demikian juga dalam hal pengangkatan kepala daerah, harus diubah sistem dan mekanismenya yakni tidak semata-mata ditentukan oleh kehendak pusat tetapi ditentukan secara mandiri oleh daerah masing-masing.

Pemerintah pusat hanya menjadi wasit dan menjaga konstitusi dalam praktek pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Pegawai negeri juga akan terbagi dua yaitu pegawai negeri daerah dan pegawai negeri pusat. Dalam ukuran kecil sekarang telah terjadi, meski dengan persepsi yang distortif. Di mana saat ini dipahami pegawai negeri pusat adalah mereka yang berada di pusat dan menjadi bagian dari kelompok elite kekuasaan yang memiliki otoritas lebih dibanding pegawai negeri daerah.

Pengertian pegawai negeri pusat dan daerah di sini tidak demikian. Perbedaan ini dimaksudkan untuk pembagian tugas dan tanggung jawab serta wilayah kerja masing-masing agar dapat bekerja secara efisien dan efektif, sementara otoritas dan posisi masing-masing tetap sama. Dengan sistem ini perwakilan departemen-departemen di daerah akan hilang kecuali beberapa saja, dan digantikan oleh kantor-kantor daerah (termasuk ekspor).

Pemerintah pusat memiliki otoritas penuh dalam dua hal yaitu politik luar negeri dan pertahanan. Dalam hal ini daerah-daerah harus ikut saja pada keputusan pusat. Masalah keamanan diserahkan pada kepolisian negara yang dalam menjalankan tugasnya tunduk pada gubernur, wali kota, dan bupati bukan pada pemerintah pusat. Hubungan pusat dan daerah yang bersifat koordinatif haruslah menjadi hubungan yang setara, bukannya subordinatif seperti sekarang.

***

LALU bagaimana halnya dengan institusi-institusi yang ada? Yang jelas, ABRI harus melepaskan tanggung jawab keamanan yang ada. Dia cukup mempersiapkan diri secara profesional dalam mengurusi pertahanan negara. Dengan demikian wilayah kekuasaannya menjadi ciut, tetapi lebih berisi dan berbobot dan lebih mudah mempertanggungjawabkan tindakannya. Demikian pula kebebasan daerah memilih pemerintahannya. Dengan pola ini akan terjadi perampingan struktur pemerintahan secara cepat, kontrol dan pengawasan bisa lebih mudah dan efektif sehingga menekan terjadinya kolusi antara pemimpin pusat dan daerah.

Dalam pemilihan pemerintah daerah, pemerintah pusat hanya berfungsi menetapkan standar belaka yang harus diikuti oleh pemerintah-pemerintah daerah. Kecenderungan untuk korupsi pun akan menurun karena mengecilnya peran pemerintah pusat berarti meningkatnya pengawasan legislatif daerah. Ini pun masih disertai dengan pengawasan yang teliti dari pihak yudikatif. Dalam hal ini berarti yudikatif harus ditunjuk oleh pihak legislatif sebagai representasi dan manifestasi kedaulatan rakyat bukan oleh eksekutif yang sebenarnya hanya manifestasi kedaulatan birokrasi, seperti selama ini terjadi.

Dalam pada itu masa lima sampai sepuluh tahun lagi akan terlihat semakin tumbuhnya kekuatan masyarakat. Sekarang saja ABRI dan birokrasi pemerintah harus menerima kehadiran lebih dari satu serikat buruh (SBSI). Demikian pula kebebasan pers untuk mengkritik pemerintah telah semakin terbuka, sebagaimana tertuang dalam bentuk kebebasan pers yang ditandai dengan tidak berartinya SIUPP. Pihak legislatif juga sudah mulai berani mengritik pihak eksekutif secara terbuka, meskipun hal ini masih dilakukan secara malu-malu, sebagaimana terlihat saat ini.

Hal ini perlu dimaklumi karena DPR dan MPR sekarang masih produk Orba. Pemilu yang akan datang juga sudah ada kemungkinan dapat diikuti oleh pihak-pihak lain di samping PPP, Golkar dan PDI. Namun spontanitas—sebagai cermin aspirasi rakyat yang murni—belum muncul karena masih dimungkinkan adanya sikap menahan satu pihak untuk tidak ikut pemilu dengan alasan penyederhanaan partai-partai peserta pemilu. Ini terjadi karena undang-undang politik yang ada memungkinkan untuk itu.

***

BEBERAPA hal di atas yang menjadi indikasi bahwa demokratisasi meski kecil dan lambat mulai timbul dan bergerak. Dikatakan demikian karena belum terjadi perpindahan titik berat dari kerja institusi-institusi yang ada. Di samping itu, untuk jarak lima sampai sepuluh tahun ini pihak yudikatif belum memiliki independensi penuh dan masih bergantung pada pihak eksekutif. Pemindahan tugas keamanan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah bukanlah sesuatu hal yang mudah dicapai.

Demikian halnya dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah, walaupun ada bahaya separatisme. Sedangkan perlindungan hak-hak asasi warga sebagaimana tertuang dalam deklarasi PBB, juga masih panjang. Walhasil yang terjadi adalah proses meningkatnya demokrasi secara perlahan, dan berkurangnya kekuasaan pemerintah atas rakyat sedikit demi sedikit.

Dalam hal yang demikianlah pertanyaan pada awal tulisan ini patut dikemukakan karena membuat demokrasi bukanlah pekerjaan sehari dua hari. Dan menegakkan hukum juga bukan persoalan mudah. Ia tidak dapat dicapai hanya dengan membubuhkan tanda tangan saja, karena kepentingan yang saling berbeda akan berlaga di tengah percaturan politik yang ada. Pemilu yang berjalan adalah cara untuk memberikan legitimasi bagi upaya demokratisasi yang sulit dicapai itu.

Di sinilah terletak beberapa anggapan, bahwa tradisi atau budaya politik haruslah sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga yang ada, demikian sebaliknya. Karenanya dapatlah dimengerti mengapa jawaban pada pertanyaan di awal tulisan ini berbunyi negatif. Untuk menjadi positif perlu perjuangan melalui serangkaian pemilu. Karena dari sini bisa dimulai perombakan aturan mengenai mekanisme kerja pemerintah, hubungan pusat dan daerah serta perumusan kembali peran dan posisi institusi-institusi yang ada agar dapat berjalan secara efektif dan efisien.

 

KH Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PBNU; tinggal di Jakarta.

Tulisan ini dimuat di KOMPAS Selasa, 01-09-1998. Halaman: 4

Posted in Artikel Gus Dur

ISLAM, IDEOLOGI DAN ETOS KERJA DI INDONESIA

 (Catatan Isu Aktual)

Oleh Abdurrahman Wahid

Dalam Muktamar Nadhlatul Ulama (NU) tahun 1935 di Banjarmasin, forum menyampaikan permintaan fatwa, bagaimana status negara Hindia Belanda dilihat dari pandangan agama Islam, karena ia diperintah oleh pemerintah yang bukan Islam dan orang-orang yang tidak beragama Islam? Dari sudut pandang agama Islam, wajibkah ia dipertahankan bila ada serangan luar?

Jawaban dari pertanyaan itu cukup menarik. Negara Hindia Belanda wajib dipertahankan dari serangan luar, sebagai kewajiban agama, karena negara tersebut menjamin kebebasan warga negara untuk melaksanakan ajaran agama Islam. Bahan pengambilan atau sumber rujukan yang digunakan adalah Bughyah al-Mustarsyidin, sebuah kitab agama yang dikarang oleh Al-Hadrami.

Fatwa di atas menyentuh dua hal yang sangat penting bagi kehidupan sesuatu bangsa atau masyarakat. Di satu pihak, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum muslimin untuk melaksanakan ajaran agama mereka, sebagai conditio sine qua non bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut, dan dengan demikian memberikan tolok ukur yang jelas bagi kaum muslimin dalam kehidupan mereka. Di pihak lain, Islam membiarkan hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga negara dan ideologi politik mereka ditentukan oleh proses sejarah. Kedua hal itu langsung memungkinkan kaum muslimin untuk sekaligus memiliki kesetiaan kepada ajaran Islam, di samping kesetiaan kepada negara yang bukan negara Islam. Dengan demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi keagamaan cukup kuat, seperti yang kita lihat pada kaum muslimin dewasa ini di negeri kita. Wawasan kebangsaan dan orientasi keagamaan itu saling mendukung, bukannya saling menolak, seperti yang masih terjadi di negeri-negeri lain hingga saat ini.

Walaupun secara sepintas lalu telah tercapai rekonsiliasi definitif antara Islam dan negara, dalam hal ini terutama dengan ideologi Pancasila, namun bukan berarti bahwa permasalahan hubungan antara Islam dan negara di negeri kita telah terselesaikan secara tuntas. Sebuah sisi dari hubungan itu masih memungkinkan timbulnya fraksi antara kepentingan kaum muslimin dan kepentingan negara. Sisi itu adalah senjangnya watak yang dimiliki keduanya, Islam sebagai agama memberlakukan nilai-nilai normatif dalam kehidupan perorangan maupun kolektif para pemeluknya, sedangkan negara seperti Republik Indonesia tidak akan mungkin memberlakukan nilai-nilai yang tidak diterima oleh semua warga negara, yang berasal dari agama dan pandangan hidup yang berlainan. Dengan kata lain, tidak semua nilai-nilai normatif yang dimiliki oleh Islam dapat diberlakukan dalam kehidupan bernegara kita di negeri ini.

Kenyataan ini mendorong kita untuk mencari landasan hubungan antara Islam dan negara dalam bentuk yang lebih baik, dari hanya sekedar kebebasan melaksanakan ajaran Islam bagi kaum muslimin, seperti yang selama ini mengatur kehidupan kita sebagai bangsa. Dengan sadar harus dilakukan upaya untuk mencari tali pengikat yang lebih kokoh bagi kehidupan kaum muslimin negeri ini dalam kaitannya dengan ideologi negara. Sebenarnya upaya ke arah itu telah dilakukan oleh berbagai kalangan, namun hinggga saat ini hasilnya masih belum menunjukkan hasil yang final. Apa yang akan dipaparkan selanjutnya dalam tulisan ini hanyalah merupakan sebuah upaya lanjutan belaka, dan sama sekali tidak memiliki pretensi telah menemukan jawaban yang memuaskan. Bahkan justru sebaliknya, ia akan mengundang lebih banyak masalah, yang diharapkan akan mampu merangsang kegiatan kolektif kita dalam mencari jawaban final di kemudian hari.

Seorang pemikir muslim yang melakukan rintisan ke arah rekonsiliasi antara agama dan negara itu adalah Syeikh Ali Abdurraziq dari Mesir. Pada tahun tigapuluhan, ia menyatakan bahwa Islam hanya mengenal tiga sendi kehidupan bernegara, yaitu keadilan (‘adalah), persamaan (musawah) demokrasi (syura). Apabila suatu negara telah memiliki ketiga sendi kehidupan itu, dengan sendirinya ia dapat diterima keabsahannya oleh Islam. Dengan segera ia mendapatkan reaksi sangat keras dari semua kalangan, baik ulama maupun cendekiawan muslim lainnya, apalagi dari kalangan aktivis gerakan Islam. Ia diusir dari lingkungan Al-Azhar, tempat ia mengajar sekian tahun lamanya, dan bukunya dibakar serta dilarang beredar.

Mengapa demikian besar reaksi yang dihadapi? Tidak lain, karena ia mengesampingkan sisi normatif dari Islam, yang telah meletakkan demikian banyak ketentuan yang terkait dengan kehidupan masyarakat, dalam bentuk hukum agama (fiqh). Dari fiqih itu lalu dikembangkan wawasan hukum kenegaraan yang dikenal dengan sebutan Hukum Islam, seringkali dikenal dengan nama lain, yaitu Syari’ah. Ali Abdurraziq melihat negara sebagai instrumen yang terpisah dari hukum agama, dan dengan demikian secara praktis ia memperkenalkan gagasan negara sekuler dalam cakrawala pemikiran kaum muslimin tentang negara dan konstitusi.

Dalam negara seperti itu, hukum agama tidak memperoleh tempat, karena hukum yang diberlakukan adalah hukum nasional negara itu. Islam dilepaskan dari fungsi normatifnya, dan tinggal berfungsi filosofis belaka, yaitu sebagai dasar negara, dan dengan demikian tidak memperoleh keabsahan sebagai sumber hukum yang bersifat langsung. Dalam ungkapan lain, Islam hanya berfungsi inspiratif bagi kehidupan warga negara secara keseluruhan. Tanpa membenarkan atau menyalahkan Ali Abdurraziq, jelas bagi kita bahwa reaksi hebat itu merupakan bukti masih kuatnya pandangan yang berkebalikan dari pandangannya itu. Masih cukup besar jumlah kaum muslimin yang menentang pandangan sekuler tentang hubungan agama dan negara. Juga terbukti masih kuat keinginan untuk memberlakukan Hukum Islam ini dalam kehidupan bernegara, melalui legislasi ajaran Islam dan menjadikan produknya sebagai hukum Nasional.

Gema dari tuntutan seperti itu masih terus bergaung, lebih lima puluh tahun setelah Ali Abdurraziq menuliskan karyanya. Di luar Indonesia, kita lihat betapa saat ini para aktivis gerakan Islam menuntut pemberlakukan Hukum Syari’ah, yang akan melarang Benazir Bhuto menjadi perdana menteri lagi di Pakistan. Pada saat ini muncul kasus seorang pria yang oleh pengadilan dilarang mengawini istri kedua, karena tidak memenuhi persyaratan untuk itu, namun oleh banyak kalangan (termasuk penguasa salah satu negara bagian), keputusan itu dianggap melanggar ketentuan agama yang tidak memberlakukan persyaratan apapun bagi perkawinan dengan istri kedua.

Dalam memahami hubungan antara agama dan negara menjadi jelas bagi kita, bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan pesat dalam pemikiran keagaman maupun kenegaraannya. Ideologi Pancasila telah didudukkan secara tepat oleh kaum muslimin, yaitu menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum muslimin. Antara ideologi sebagai landasan konstitusional tidak dipertentangkan dengan agama, tidak mencari penggantinya dan tidak diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara teoritis tidak akan diberlakukan undang-undang maupun peraturan lain yang bertentangan dengan ajaran agama di negara ini. Secara keseluruhan, Islam berfungsi dalam kehidupan bangsa dalam dua bentuk. Bentuk pertama adalah sebagai akhlaq masyarakat (etika sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk kedua adalah partikel-partikel dirinya yang dapat diundangkan melalui proses konsensus (Undang-undang seperti Undang-undang No. 1/1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Peradilan Agama No. 7/1989).

Dengan mengakui wewenang Hukum Islam untuk mengatur kehidupan warga negara, melalui filter berupa Hukum Nasional, watak kehidupan bernegara dan berbangsa terhindar dari orientasi sekuler, seperti yang dikhawatirkan dapat terjadi bila diikuti pendapat Ali Abdurraziq. Situasi seperti ini memang tidak sepenuhnya memuaskan bagi mereka yang menghendaki pelaksana ajaran Islam secara utuh sebagai produk legislatif formal, atau dengan istilah lain yang menghendaki pelaksanaan sepenuhnya Hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Bagi pandangan seperti itu, memang tidak akan ada yang memuaskan selain berdirinya sebuah Negara Islam, sedangkan dalam kenyataan yang dapat kita dirikan adalah Republik Indonesia.

Masalahnya juga belum selesai bagi mereka yang telah dapat menerima kenyataan yang terjadi, dan dapat menerima kehadiran Pancasila dalam konteks yang diuraikan di atas. Pancasila masih harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut Islam, antara lain seperti yang dirumuskan Ali Abdurraziq. Pancasila harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis, menganut paham perlakuan sama di muka undang-undang dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, Pancasila harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi kepada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan pendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Itulah kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi kita, Pancasila. Kunci itu diperoleh dari lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat: jaminan dasar akan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.

Lembaga-lembaga kenegaraan harus disusun berdasarkan acuan yang jelas akan mewujudkan kekuasaan pemerintah yang terbatas, bukan kekuasaan tanpa batas. Untuk itu kedaulatan hukum atas lembaga pemerintahan maupun kemasyarakatan, serta atas individu maupun kelompok warga negara, harus dijaga sekuat mungkin. Penjagaan kedaulatan hukum itu hanya dimungkinkan, apabila kebebasan berpendapat dan berserikat benar-benar dihormati. Karenanya, jalinan antara kedaulatan hukum, kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat merupakan kunci yang mutlak harus diberikan Islam kepada ideologi negara dan bangsa kita.

Dalam konteks sumbangan Islam kepada ideologi, dengan sedirinya tidak bisa diabaikan kebutuhan akan penumbuhan etos kerja yang benar, yang akan membawa kepada wawasan ideologi seperti dikemukakan di atas. Etos kerja itu harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara. Tanpa orientasi ke depan seperti itu, tidak akan mungkin ideologi melakukan transformasi sosial yang diperlukan untuk melintasi garis kemiskinan menuju kepada kemakmuran di masa depan. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan yang teracu ke masa depan yang lebih baik.

Orientasi ke depan itu harus diikuti oleh penghargaan yang cukup kepada kompetisi dan capaian (achievement). Orientasi ini akan melahirkan orientasi lain, yaitu semangat profesionalisme yang menjadi tulang-punggung masyarakat modern. Semangat menjunjung tinggi profesionalisme adalah titik kepentingan dari transformasi sosial yang disebutkan di atas. Islam menjunjung tinggi profesionalisme, seperti dapat dibuktikan dengan berbagai cara yang tidak disebutkan di sini. Karena itu Islam mau tidak mau harus mengembangkan dalam dirinya etos-etos kehidupan yang berwatak transformis.

Penulis adalah ketua Dewan Syura PKB

Posted in Artikel Gus Dur

ISLAM DAN HUBUNGAN ANTARUMAT BERAGAMA DI INDONESIA

 (Catatan Tentang Islam Gus Dur)

HUBUNGAN antarumat beragama di Indonesia tampaknya kembali mengalami cobaan dan  ujian berat dua tahun terakhir ini. Kalau diikuti dengan cermat tampak bahwa hal ini masih akan berlangsung cukup lama.

Memulihkan hubungan yang semula tampak harmonis dan kemudian mengalami keretakan, bukanlah hal yang mudah. Namun, masa depan kita sebagai bangsa banyak bergantung  kepada kemampuan pemulihan  hubungan itu. Kegagalan dalam hal ini dapat mengakibatkan ujung traumatik yang mengerikan: terpecah-belahnya kita sebagai bangsa.

Karenanya, mau  tidak mau  kita  harus  mengerahkan  kemampuan sekuat  tenaga untuk mewujudkan  pemulihan  hubungan antarumat beragama  itu. Untuk  keperluan itu, kita terlebih dahulu harus  memahami sebab-sebab paling dasar dari retaknya hubungan dan sisi-sisi multidimensional dari kemelut yang dihadapi. Tanpa  mengetahui penyakitnya, tentu tak akan ditemukan obatnya,  dan penyembuhan  tidak akan  mungkin dilakukan.

***

PADA hakikatnya, sebuah masyarakat heterogen yang sedang tumbuh, seperti  bangsa kita, tentu sulit untuk mengembangkan saling  pengertian   yang  mendalam   antara  beraneka  ragam unsur-unsur   etnis,   budaya   daerah,   bahasa   ibu,   dan kebudayaannya.  Kalaupun   tidak  terjadi   salah  pengertian mendasar antara  unsur-unsur itu,  paling tidak  tentu saling pengertian yang tercapai barulah bersifat nominal belaka. Dengan kata  lain, suasana  optimal yang dapat dicapai bukanlah saling pengertian,  melainkan sekadar  sangat  kurangnya  kesalahpahaman.

Pola hubungan  “harmonis” seperti itu, dengan sendirinya tidak memiliki  daya tahan  yang ampuh  terhadap berbagai tekanan yang  datang dari  perkembangan politik,  ekonomi,  dan budaya. Kerukunan  yang ada hanyalah kondisi yang rapuh, yang mungkin dapat  diistilahkan dengan  ungkapan dari masa Perang Dingin   antara    negara-negara   adikuasa   dahulu:   hidup berdampingan secara damai (peaceful co-existence).

Sudah  tentu   kedamaian  yang   terselenggara  hanyalah sekadar  sikap  bertetangga  baik,  tanpa  rasa  senasib  dan sepenanggungan di antara orang yang merasa sesama bersaudara. Hubungan baik yang disifati hanya oleh tatakrama dan rasa saling menghormati  secara lahiriah belaka. Persambungan rasa tentu akan sangat sedikit terjadi dalam keadaan demikian.

Perbedaan  sikap   dan  pandangan,  apalagi  perbenturan kepentingan, dapat  membuat ketenangan  suasana sewaktu-waktu berubah  menjadi   kebalauan.  Mereka   yang tadinya  saling menghormati, tiba-tiba  dapat  bersikap  saling  menyalahkan. Mereka yang tadinya santun satu sama lain, sekonyong-konyong dapat bersikap  saling  menyalahkan.  Suasana  kejiwaan  yang dipenuhi rasa  terkejut karena semula keadaan baik-baik saja, menambah intens rasa “kehilangan” ketenangan semula. Hal itu lalu memperbesar  rasa tambah  parahnya  keadaan  lebih  dari kenyataan yang sebenarnya berlangsung.

***

DARI apa  yang diuraikan  di atas,  menjadi  nyata  bagi kita, bahwa  masalah pokok  kita dalam hal hubungan antarumat beragama, adalah  pengembangan rasa  saling  pengertian  yang tulus dan berkelanjutan. Kita hanya akan mampu menjadi bangsa yang kukuh,  kalau umat agama-agama yang berbeda dapat saling mengerti  satu   sama  lain,   bukan  hanya   sekadar  saling menghormati. Yang  diperlukan  adalah  rasa  saling  memiliki (sense of  belonging), bukannya hanya saling bertenggang rasa satu terhadap yang lain.

Karena Islam  adalah agama  golongan penduduk  mayoritas bangsa kita, maka menjadi  sangat menyedihkan, bahwa sampai hari ini  masih  sangat  luas  sikap  negatif  mereka  kepada pihak-pihak lain.  Materi khotbah dan ceramah para pemimpin Islam, dari kalangan ulama hingga kalangan cendekiawan, masih berubah sewaktu-waktu menjadi sangat memprihatinkan.

Memang mayoritas  bangsa kita,  yang notabene,  beragama Islam, masih  dicengkam oleh  kemiskinan dan  kebodohan,  sehingga mudah  “dirayu” untuk  berpindah agama secara murahan. Kondisi logis  dari kenyataan itu sebenarnya adalah keharusan bagi gerakan  Islam untuk memajukan umat mereka. Ini berarti keharusan untuk  melakukan transformasi multidimensional atas kehidupan umat  yang mereka  pimpin, bukannya mencari kambing hitam atas keterbelakangan dan ketertinggalan sendiri.

Ini  tidak  berarti,  para  pemimpin  Islam  di  segenap tingkatan  harus  menutup  mata  terhadap  semua  ekses  yang terjadi  dalam  kehidupan  beragama  di  negeri  kita.  Harus diambil  langkah-langkah   untuk   menangani   dan   mencegah terulangnya ekses-ekses  itu, termasuk  cara penyebaran agama terlalu  agresif,  yang  dilakukan  oleh  sementara  kelompok penganut agama dari golongan minoritas. Namun, cara penanganan dan penangkalan haruslah dilakukan  dengan bijaksana, tanpa harus melakukan generalisasi terhadap semua warga umat dari agama tersebut.

Tentu kaum muslimin di negeri kita tidak mau dipersalahkan atas  kegiatan  negatif  yang dilakukan oleh  minoritas muslimin di negeri-negeri lain. Kita hanya mampu mendudukkan masalah ini secara proporsinal. Kenyataan sederhana ini dan kearifan seperti dituntut di atas, memang tidak mudah  untuk  diwujudkan,  apalagi  untuk dikembangkan dalam lingkup, yang  luas.  Namun,  kita  tidak punya pilihan  lain, kalau  masih diinginkan bangsa kita yang demikian heterogen  dapat mengembangkan  diri menjadi  bangsa yang kukuh sendi-sendi kehidupannya dalam memasuki abad ke-21 nanti.

Semua pihak  di kalangan  kaum muslimin memikul tanggung jawab untuk  menumbuhkan rasa memiliki terhadap  semua warga masyarakat bangsa  kita, karena  hanya dengan cara demikian Islam dapat  tumbuh menjadi  kekuatan pelindung  bagi seluruh penduduk negeri ini secara keseluruhan.

 

Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB-NU.

 Tulisan ini dimuat di harian KOMPAS Senin, 14-12-1992. Halaman: 4

Posted in Artikel Gus Dur

ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA

(Catatan Tentang Islam Gus Dur)

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Tulisan-tulisan yang menyatakan Islam melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), seringkali menyebutkan Islam sebagai agama yang paling demokratis. Pernyataan itu, seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Justru di negeri-negeri muslim-lah terjadi banyak pelanggaran yang berat atas HAM, termasuk di Indonesia.

Kalau kita tidak mau mengakui hal ini, berarti kita melihat Islam sebagai acuan ideal, yang sama sekali tidak tersangkut dengan HAM. Dalam keadaaan demikian, klaim Islam sebagai agama pelindung HAM hanya akan terasa kosong saja, tidak memiliki pelaksanaan dalam praktek kehidupan.

Di sisi lain, kita melihat para penulis seperti Al-Maudoodi, seorang pemimpin muslim yang lahir di India dan kemudian pindah ke Pakistan di abad yang lalu, justru tidak mempedulikan hubungan antara Islam dan HAM. Baginya, bahkan hubungan antara Islam dan Nasionalisme justru tidak ada. Nasionalisme adalah ideologi buatan manusia, sedangkan Islam adalah buatan Allah swt.

Bagaimana mungkin mempersamakan sesuatu buatan Allah swt dengan sesuatu buatan manusia? Lantas, bagaimanakah harus diterangkan hubungan antara perkembangan Islam dalam kehidupan yang dipenuhi oleh tindakan-tindakan manusia? Al-Maudoodi tidak mau menjawab pertanyaan ini, sebuah sikap yang pada akhirnya menghilangkan arti acuan yang digunakannya.

Bukankah Liga Muslim (Muslim League) yang didukungnya adalah buatan Ali Jinnah dan Lia Quat Ali Khan, yang kemudian melahirkan Pakistan, yang tiga kali berganti nama antara Republik Pakistan dan Republik Islam Pakistan? Bukankah ini berarti campur tangan manusia yang sangat besar dalam pertumbuhan negeri muslim itu? Dan, bagaimanakah harus dibaca tindakan Pervez Musharraf yang pada bulan lalu telah memenangkan kepresidenan negeri itu melalui plebisit, bukannya melalui pemilu? Dan bagaimana dengan tuduhan-tuduhannya, bahwa para pemuka partai politik, termasuk Liga Muslim, sebagai orang-orang yang korup dan hanya mementingkan diri sendiri?

***

Banyak negeri-negeri muslim yang telah melakukan ratifikasi atas deklarasi universal HAM, yang dikumandangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam tahun 1948. Dalam deklarasi itu, tercantum dengan jelas bahwa berpindah agama adalah Hak Asasi Manusia.

Padahal Fiqh/Hukum Islam sampai hari ini masih berpegang pada ketentuan, bahwa berpindah dari agama Islam ke agama lain adalah tindak kemurtadan (apostasy), yang patut dihukum mati. Kalau ini diberlakukan di negeri kita, maka lebih dari 20 juta jiwa manusia Indonesia yang berpindah agama dari Islam ke Kristen sejak tahun 1965, haruslah dihukum mati.

Dapatkah hal itu dilakukan? Sebuah pertanyaan yang tidak akan ada jawabnya, karena hal itu merupakan kenyataan yang demikian besar mengguncang perasaan kita.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa dihadapan kita hanya ada satu dari dua kemungkinan: menolak deklarasi universal HAM itu sebagai sesuatu yang asing bagi Islam, seperti yang dilakukan Al-Maudoodi terhadap Nasionalisme atau justru merubah diktum fiqh/Hukum Islam itu sendiri.

Sikap menolak, hanya akan berakibat seperti sikap burung onta yang menolak kenyataan dan menghindarinya, dengan bersandar kepada lamunan indah tentang keselamatan diri sendiri. Sikap seperti ini, hanya akan berarti menyakiti diri sendiri dalam jangka panjang.

Dengan demikian, mau tak mau kita harus menemukan mekanisme untuk merubah ketentuan fiqh/Hukum Islam, yang secara formal sudah berabad-abad diikuti. Tetapi di sinilah terletak kebesaran Islam, yang secara sederhana menetapkan keimanan kita pada Allah dan utusan-Nya sebagai sesuatu yang tidak bisa ditawar lagi. Beserta beberapa Hukum Muhkamat lainnya, kita harus memiliki keyakinan akan kebenaran hal itu. Apabila yang demikian itu juga dapat diubah-ubah maka hilanglah ke-islaman kita.

Sebuah contoh menarik dalam hal ini adalah tentang budak sahaya (slaves), yang justru banyak menghiasi Al-Qur’an dan Al-Hadits (tradisi kenabian).

Sekarang, perbudakan dan sejenisnya tidak lagi diakui oleh bangsa muslim manapun, hingga secara tidak terasa ia hilang dari perbendaharaan pemikiran kaum muslimin. Praktek-praktek perbudakan, kalaupun masih ada, tidak diakui lagi oleh negeri muslim manapun dan paling hanya dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin yang kecil tanpa perlindungan negara. Dalam jangka tidak lama lagi, praktek semacam itu akan hilang dengan sendirinya.

Karena itu kita harus mampu melihat ufuk kejauhan, dalam hal ini mereka yang mengalami konversi ke agama lain. Ini merupakan keharusan, kalau kita ingin Islam dapat menjawab tantangan masa kini dan masa depan.

Firman Kitab Suci Al-qur’an, “tiadalah yang tetap dalam kehidupan kecuali wajah Tuhan” (walam yabqa illa wajha Allah) menunjukkan hal itu dengan jelas. Ketentuan Ushul Fiqh (Islamic Legal Theory) “hukum agama sepenuhnya tergantung kepada sebab-sebabnya, baik ada ataupun tidak adanya hukum itu sendiri” (yaduuru al-hukmu ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman) jelas menunjuk kepada kemungkinan perubahan diktum seperti ini.

Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) telah melakukan antisipasi terhadap hal ini. Dalam salah sebuah muktamarnya, NU telah mengambil keputusan “perumusan hukum haruslah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digunakan”.

Ambil contoh masalah Keluarga Berencana (KB), yang dahulu dilarang karena pembatasan kelahiran, yang menjadi hak reproduksi di tangan Allah semata. Sekarang, karena pertimbangan biaya pendidikan yang semakin tinggi membolehkan perencanaan keluarga, dengan tetap membiarkan hak reproduksi di tangan Allah. Kalau diinginkan memperoleh anak lagi, tinggal membuang kondom atau menjauhi obat-obat yang dapat mengatur kelahiran.

Jelaslah dengan demikian, bahwa Islam patut menjadi agama di setiap masa dan tempat (yasluhu kulla zamanin wa makan). Indah bukan, untuk mengetahui hal ini semasa kita masih hidup?

 

Paso, 23 Mei 2002

Penulis adalah ketua umum dewan syura DPP PKB

Posted in Artikel Gus Dur

ISLAM DAN GAGASAN KELUARGA BERENCANA

(Catatan Tentang Islam Gus Dur)

Dalam tahun 1975, tujuh orang ahli hukum agama/fiqh diundang oleh Departemen Agama (Depag) untuk membahas gagasan masalah Keluarga Berencana (KB). Di antara tujuh orang itu terdapat KH M Bisri Syansuri, Rais ‘Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) yang tinggal di Jombang. Beliau terkenal sebagai pembela hukum agama/fiqh, di samping melakukan penerapan literal atas sumber-sumber tekstual (al-adillah al-naqliyyah) dalam kehidupan. Pertemuan ke tujuh orang itu berakhir dengan pernyataan bahwa mereka akan menerima gagasan KB tersebut. Tentu saja, dapat dilontarkan tuduhan bahwa mereka pasti mengalah terhadap tekanan politik dari pemerintah waktu itu, namun integritas pribadi ke-tujuh orang itu tidak memungkinkan adanya hal tersebut.

Penulis teringat kepada kisah sang adik, dr. Umar Wahid, yang pernah mengantarkan beliau ke suatu pesta perkawinan anak tokoh seorang Kejawen, Sudjono Humardani. Setelah keduanya mengucapkan selamat kepada kedua mempelai, KH. M Bisri Syansuri lalu duduk di sebuah kursi dan dr. Umar Wahid menuju ke meja makan untuk menikmati hidangan sambil makan dengan berdiri. Belum sempat ia mencicipi makanan, bahunya disentuh beliau, sambil menyatakan; “Rasulullah tidak pernah makan sambil berdiri, karena itu, mari kita pulang”.

Mengapakah terjadi penerimaan dari mereka seperti itu? Karena memang, Menteri Agama Dr. A Mukti Ali tidak menyodorkan gagasan pembatasan kelahiran, yang akan membatasi hak reproduksi manusia yang dipegang oleh Allah Swt. Sebaliknya, ia mengemukakan gagasan KB yang sama sekali tidak mengurangi hak-hak reproduksi semua makhluk di tangan Allah swt. Dengan kata lain, manusia merencanakan jumlah keluarga tetapi tidak menghentikan secara permanen hak Allah Swt atas proses itu. Karena itu, mereka dapat menerima gagasan KB, tapi menolak gagasan pembatasan anak.

Hal ini akan menjadi lebih jelas, jika dilihat dalam kasus operasi medis Cincin-Yung. Dalam hal ini dilakukan operasi kecil dengan mengeluarkan tuba (tube) di luar rahim/kandungan seorang perempuan, yang menjadi tempat lalu/lewat sperma lelaki untuk bertemu dengan indung telur sang Ibu, dalam rahimnya. Tuba itu dilipat dan diberi Cincin-Yung, agar sperma tidak lagi dapat lewat, guna mencegah proses pembuahan indung telur. Jika diinginkan, Cincin-Yung ini dapat saja dilepas dan sperma dapat lewat lagi melalui tuba tersebut, hingga terjadi pembuahan lagi. Ini berarti, hak reproduksi manusia secara permanen tetap berada di tangan Allah saw. Dan ini berarti pula, manusia dapat mengkotak-katik, namun Allah swt jua-lah yang berwenang melakukan reproduksi pada si makhluk yang bernama manusia itu.

Dengan demikian, menjadi nyata bahwa pokok persoalannya terletak pada siapa yang memiliki hak reproduksi; Allah swt-kah atau manusia sendiri? Dalam hal ini, manusia mungkin saja mengatur dan merencanakan jumlah anggota keluarga yang dikehendaki, namun pada akhirnya nanti Allah swt-lah yang tetap menentukan. Umpama saja, manusia merencanakan dua kali kelahiran, karena yang diinginkan hanya dua anak saja. Ini adalah suatu perencanaan, namun—sekali lagi, Allah swt dapat menentukan lain. Bahwa, dengan kedua kelahiran itu, ternyata menjadi jalan bagi kelahiran anak kembar, hingga orang tua tersebut tidak hanya memiliki dua anak saja, melainkan empat orang anak.

Di sini, terdapat perbedaan prinsipil antara sebuah perencanaan dan pembatasan jumlah anak. Dalam hal pembatasan, sekali diambil tindakan, maka hak reproduksi yang ada di tangan Allah Swt dihilangkan dan tidak dimungkinkan pemulihannya kembali. Sedangkan dalam perencanaan jumlah anak, hak itu secara teoritis tetap berada di tangan Allah Swt. Karena, manusia hanya dapat menghentikannya untuk sementara saja—ketika alat-alat seperti kondom, obat-obatan maupun Cincin-Yung dilepaskan. Artinya, penggunaannya tidak mematikan kemungkinan pembuahan lagi jika alat-alat tersebut tidak dipakai.

Dalam hal ini terbukti: gagasan perencanaan keluarga berjalan bersama dengan perkembangan masyarakat. Kebutuhan pendidikan yang semakin rumit dan berbiaya besar, membuat orang tidak lagi menginginkan jumlah anggota keluarga yang besar. Hadits-hadits Nabi saw yang berbunyi: “berkawinlah kalian dan berbanyak-banyak anak agar dapat Ku-banggakan kalian di hadapan bangsa-bangsa lain di hari kiamat kelak” (tanakahu taktsuru fa inni mubaahin biku al-yauma al-qiyamah) dipertanyakan, bahwa yang dimaksudkan itu jumlah fisis (bilangan) ataukah jumlah kwalitatif atas hadits-hadits di atas. Sedangkan yang dimaksudkan dengan jumlah kwalitatif di sini adalah jumlah orang yang berpendidikan tinggi atau menguasai teknologi dengan mendalam. Kalau jawabnya jumlah kwalitatif, dengan sendirinya yang dipentingkan adalah pendidikan, yang menghendaki justru jumlah anggota keluarga yang tidak terlalu besar.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa, ada pertalian erat antara keadaan terdidik dan perencanaan keluarga, seperti halnya pertalian faktor-faktor modern dengan besarnya jumlah anggota keluarga. Dengan demikian, hubungan timbal balik antara keterdidikan dan jumlah anggota keluarga menjadi sesuatu yang simbiotik. Dalam arti, semakin tinggi keadaan keterdidikan sang anak, semakin sedikit jumlah anggota keluarganya—dan demikianlah pendapat umum yang tidak pernah diungkapkan oleh pers.

Dengan begitu menjadi jelaslah, bahwa perencanaan keluarga haruslah memiliki wawasan nasional dan tidak hanya mengangkat dirinya saja. Ini berarti, bagaimanapun juga pertimbangan-pertimbangan non-hukum agama/fiqh juga turut membentuk pandangan keluarga muslim tentang keluarga berencana tersebut. Sesungguhnya, kedua faktor hukum agama /fiqh dan non-fiqh harus dijaga keseimbangannya antara kedua belah pihak. Karena itu, kajian mendalam atas jalan pikiran dan perasaan kontemporer dari kaum muslimin, juga harus diperhitungkan. Cukup rasional, bukan?

 

Jakarta, 15 September 2002

Posted in Artikel Gus Dur

ISLAM DAN DIALOG ANTAR AGAMA

(Catatan Tentang Islam)

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Charles Torrey dalam disertasi doktornya di Universitas Heidelburg tahun 1880-an, mengemukakan bahwa Al-qur’an mempunyai keistimewaan, berupa penggunaan istilah-istilah profesi untuk menyatakan keyakinan agama. Disebutkannya ayat; “barang siapa memberikan pinjaman yang baik pada Allah, maka akan diberi imbalan berlipat ganda” (man yuridhi al-Allaha qardlan hasanan fa yudhaa’ifahu), yang berarti bukan sebuah transaksi kredit melainkan pelaksanaan amal kebajikan. Contoh lain, adalah; “barang siapa menghendaki panenan yang baik di akhirat, akan Ku-tambahi panenannya” (man kaana yuridhu hartsa al-akhirati nazid lahu fi-hartsihi), yang lagi-lagi menggunakan kata panenan sebagai penunjuk kepada amal kebajikan atau amal sholeh.

Di sini, Torrey juga menggunakan sebuah ayat lain untuk menunjuk kepada perbedaan antara Islam dan agama-agama lain, tanpa menolak klaim kebenaran agama-agama tersebut. “Barang siapa mengambil selain Islam sebagai agama, maka amal kebajikannya tidak akan diterima oleh Allah, dan dia di akhirat kelak akan menjadi orang yang merugi perdagangannya” (man yabtaghi ghaira al-Islama diinan falan yuqbala minhu wa huwa fi al-akhirati min al-khasirin), ayat ini menunjuk perbedaan dalam keyakinan antara Islam dan agama-agama lain. Perbedaan antara Islam dan agama lain, dalam ayat ini jelas menunjuk kepada masalah keyakinan, dengan tidak menolak kerjasama antar Islam dan berbagai agama lainnya.

Dengan demikian, perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerjasama antara Islam dan agama-agama lain, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerjasama itu, tentunya akan dapat ditujukan dalam praktek kehidupan, apabila ada dialog antar agama dalam kehidupan. Dengan kata lain, prinsip pemenuhan kebutuhan berlaku dalam hal ini, seperti adagium ushul fiqh (teori legal hukum Islam); “sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan menjadi wajib pula” (ma la an-yatimu al-wajibu illa bihi fahuwa wajibun) tidak akan terlaksana, karena itu dialog antar agama juga menjadi kewajiban.

Kitab suci Al-qur’an juga menyatakan: “sesungguhnya telah Ku-ciptakan kalian sebagai laki-laki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal” (inna khalaqnaakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnaakum syu’uban wa qabaa’ila li ta’arafu), menunjuk kepada perbedaan pandangan yang senantiasa ada antara laki-laki dan perempuan serta antar berbagai bangsa atau suku bangsa. Dengan demikian, perbedaan pandangan merupakan sebuah hal yang diakui Islam, karena yang dilarang adalah perpecahan dan keterpisahan (tafarruq).

Tentu saja, antara berbagai keyakinan tidak perlu dipersamakan secara total, karena masing-masing memiliki kepercayaan/ aqidah yang dianggap benar. Dalam hal ini, sama kedudukannya dengan penafsiran-penafsiran itu terhadap aqidah keyakinan masing-masing. Dalam Konsili Vatikan II yang dipimpin Paus Yohanes XXIII dari tahun 1962 hingga 1965, menyebutkan bahwa para uskup yang menjadi peserta menghormati setiap upaya mencapai kebenaran, walaupun tetap yakin bahwa kebenaran abadi hanya ada dalam ajaran masing-masing agama, tidak perlu diperbandingkan atau dipertentangkan.

Dengan demikian, menjadi jelaslah bahwa yang dapat di-kerjasama-kan antara berbagai sistem keyakinan itu adalah bagaimana menangani kehidupan masyarakat, karena masing-masing memiliki keharusan menciptakan kesejahteraan lahir (keadilan dan kemakmuran) dalam kehidupan bersama, walaupun bentuknya berbeda-beda. Di sinilah, nantinya, terbentuk persamaan antar agama, bukannya dalam ajaran/aqidah yang dianut. Karena ukuran capaian harus menggunakan bukti-bukti empirik, seperti tingkat penghasilan rata-rata warga masyarakat ataupun jumlah kepemilikan—misalnya, telepon atau kendaraan per 10.000 keluarga. Dengan demikian, ukuran rata-rata tingkat kepemilikan dapat dipersamakan oleh capaian-capaian tersebut. Sedangkan yang tidak, seperti ukuran keadilan, dapat diamati secara empirik pula dalam kehidupan sebuah sistem kemasyarakatan.

Yang dikemukakan di atas adalah persamaan-persamaan antara berbagai agama. Lalu, bagaimana halnya dengan ayat Al-qur’an, seperti; “dan orang-orang Yahudi dan Kristen tidak akan rela kepadamu, hingga engkau mengikuti kebenaran/aqidah mereka” (wa lan tardha an-kal yahudu wa la al-nashara hatta tattabi’a millatahum). Kalau kita bersikap demikian, hal itu sebenarnya wajar-wajar saja, karena menyangkut pemerimaan keyakinan/aqidah. Selama Nabi Muhamad saw masih berkeyakinan; “Tuhan adalah Allah dan beliau sendiri adalah utusan Allah swt”, selama itu pula orang-orang Yahudi dan Kristen tidak dapat menerima (berarti tidak rela kepada) keyakinan/aqidah tersebut. Sama halnya dengan sikap kaum muslimin sendiri, selama orang Kristen yakin bahwa Yesus adalah anak Tuhan dan orang Yahudi percaya bahwa mereka adalah umat pilihan Tuhan, maka selama itu pula kaum muslimin tidak akan rela kepada kedua agama tersebut.

Dalam arti, tidak menerima ajaran mereka, tetapi hal itu tidak menghalangi para pemeluk ketiga agama itu untuk bekerjasama dalam hal muamalat, yaitu memperbaiki nasib bersama dalam mencapai kesejahteraan materi. Mereka dapat bekerjasama untuk mengatur kesejahteraan materi tersebut dengan menggunakan ajaran masing-masing. Cukup indah, namun sederhana bukan?

 

Jakarta, 26 Agustus 2002

Penulis adalah Ketua Dewan Syuro DPP PKB

 

Posted in Artikel Gus Dur

INDIVIDU, NEGARA DAN IDEOLOGI

 (Catatan Budaya Gus Dur)

Pengantar Redaksi

Yayasan Soedjatmoko tanggal 3 Februari 1994 mengadakan Simposium Menyiapkan Diri Menuju Abad XXI di Jakarta, pada acara Peringatan Soedjatmoko. Dua makalah pada simposium tersebut, oleh Abdurrahman Wahid dan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, dimuat Kompas di halaman 4, dan di halaman 5 dimuat tulisan Mohamad Sobary.

 

HUBUNGAN antara warga negara sebagai individu dan negara sebagai kolektivitas pemerintahan kembali mencuat ke permukaan, sebagai isu perdebatan dan refleksi pemikiran, dalam beberapa tahun terakhir ini. Manifestasi dari munculnya hal itu tampak jelas dalam perdebatan yang berlangsung antara negara-negara berindustri maju sebagai pemberi bantuan atau mitra dagang di satu pihak dan negara-negara berkembang di pihak lain dalam tahun-tahun terakhir ini.

Negara-negara berindustri maju itu mensyaratkan penerapan hak-hak asasi manusia, perlakuan lebih adil kepada kaum pekerja, bersihnya pemerintahan dari korupsi dan lain-lain syarat lagi seperti itu. Demikian kerasnya tekanan demi tekanan dilancarkan ke alamat negara-negara berkembang sehingga Indonesia terpaksa mendirikan badan-badan khusus formal atau semi-formal untuk memberikan responsi yang tidak merugikan apa yang dirumuskan pemerintah sebagai ‘kepentingan nasional’ di satu sisi dan apa yang dianggap mencukupi ‘tuntutan-tuntutan baru dalam hubungan internasional’. Contoh dari lembaga seperti ini adalah Komite Nasional Hak-Hak Asasi Manusia (Komnasham).

Dilihat dari sudut pandang hubungan internasional, berubahnya perimbangan antara hak-hak individu warga negara dan wewenang pemerintah di negara-negara berkembang itu menunjukkan adanya pergeseran sikap kolektif dari bangsa-bangsa di dunia secara keseluruhan, menuju ke sebuah tahap baru dalam perkembangan peradaban umat manusia. Seolah-olah penutup abad ke-20 M, katakanlah dalam dasawarsa 90-an ini, merupakan masa transisi kepada sebuah keberadaan umat manusia (condition humine, untuk meminjam istilah Andre Malraux) pada sebuah tataran yang baru sama sekali.

Setelah umat manusia, dalam sejarahnya yang panjang, menyaksikan penindasan dan pengingkaran hak-hak asasi manusia sebagai sesuatu yang diterima secara umum, maka kini seolah-olah sebuah fajar baru telah menyingsing, membawakan impian sebuah masyarakat universal yang disifati oleh terpenuhinya harkat dan martabat manusia secara utuh. Mungkin sebuah impian yang terlalu indah, tetapi harapan akan masyarakat baru itulah yang menggerakkan berbagai tuntutan dan gugatan yang dialamatkan kepada pemerintah semi-otoriter, otoriter dan totaliter di hampir semua kawasan dunia. Bahkan keangkeran kekuasaan sebuah partai berukuran raksasa, seperti Partai Komunis Cina, tidak membuat gentar hati mereka yang berdiri menghadang tank-tank di lapangan Tiananmen beberapa tahun yang lalu.

***

BERBAGAI tuntutan dan gugatan yang diajukan terhadap jalannya pemerintahan, yang tidak sejalan dengan undang-undang dasar banyak negara berkembang, memaksakan kepada kita sejumlah pertanyaan mendasar yang harus segera dijawab.

Mengapakah semua proses itu dapat berlangsung saat ini, padahal seluruh sejarah umat manusia memperlihatkan porsi penindasan dan pengingkaran hak-hak asasi manusia sebagai hal yang dianggap umum? Apakah hal ini manusia tidak terperosok lagi kepada kondisi lama yang berupa siklus penindasan oleh sang penguasa atas rakyat yang tidak berdaya, seperti yang terjadi dengan impian indah yang pernah diberikan oleh berbagai revolusi politik, setelah revolusi industri dua abad yang lalu, dan setelah tercapainya kemerdekaan dan kedaulatan politik dari pemerintahan kolonial di kalangan lebih dari seratus negara dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini? Masihkah tersisa harapan akan sebuah peradaban baru bagi umat manusia, yang dalam bahasa Pembukaan UUD 1945 dirumuskan sebagai masyarakat adil dan makmur, setelah sekian lama apa yang sekarang dikenal sebagai ‘negara-negara berkembang’ (developing nations) hidup dalam kegelapan yang berciri kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar itu mungkin dapat ditemukan secara parsial dalam berbagai hasil pengamatan perkembangan keadaan di banyak negara berkembang saat ini. Salah satunya adalah pencarian akan makna ideologi sebagai kekuatan pengikat dalam hubungan antara warga negara secara perorangan maupun kelompok di satu pihak dan negara di pihak lain.

Kedudukan ideologi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa telah mengalami perubahan mendasar, dengan runtuhnya Komunisme sebagai kekuatan penopang yang menyangga Uni Soviet selama lebih dari 70 tahun dan menjadikannya kekuatan tandingan bagi negara adikuasa Amerika Serikat dan persekutuan Eropa Barat selama sekitar empat dasawarsa. Yang tersisa dari Komunisme sekarang hanyalah sebuah kerangka untuk memelihara kekuasaan politik monolit yang semakin hari semakin direpoti oleh dampak liberalisasi ekonomi dan perekonomian pasar terbuka (open-market economy) di hampir semua bidang kehidupan. Bahwa Partai Komunis Cina harus melakukan kompromi yang semakin hari semakin memperlemah dominasinya atas politik dalam negeri, menunjukkan bahwa Komunisme telah bertekuk lutut di hadapan Kapitalisme. Dengan demikian, salah satu pembenaran bagi terselenggaranya pemerintahan otoriter, yaitu adanya keperluan akan birokrasi yang kuat dan sistem politik yang menerapkan keseragaman sikap dan pandangan sebagai persyaratan bagi kemajuan, menjadi tertolak dengan sendirinya.

Keabsahan Otoriterisme itu sendiri sebenarnya lalu menjadi tidak relevan, karena Komunisme sebagai ideologi dunia (universal ideology) sudah kehilangan daya pemaksaan (co-orcive authority) yang melekat pada dirinya. Kalau ideologi adikuasa seperti Komunisme saja sudah tidak mampu memaksakan kehendak atas rakyat, apa pula yang dapat dilakukan oleh ideologi-ideologi lain yang tidak seperkasa ideologi Marxis-Leninis tersebut?

***

TERNYATA kehancuran ideologi adikuasa yang bersifat otoriter, seperti Komunisme, tidaklah dengan sendirinya membawakan era baru dalam kehidupan politik negara-negara berkembang, yaitu era pemerintahan yang tidak otoriter. Bahkan sebaliknya, upaya mengokohkan sistem politik yang otoriter dilakukan dengan cara yang semakin gigih di banyak negara berkembang.

Salah satu dampak sampingan dari kehancuran Komunisme, yaitu merapuhnya sistem pemerintahan berlingkup negara-negara (nation-state) dan terkeping-kepingnya sejumlah negara bangsa menjadi entitas kecil-kecil yang berlandaskan kesatuan etnis dan kesatuan-kesatuan sub-nasion lainnya, justru memunculkan kebutuhan penguatan kekuasaan birokrasi di sejumlah negara berkembang. Secara canggih, kemasan yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan otoriter dibuat sedemikian indah, guna memungkinkan penerimaannya secara luas. Ketika sikap mengutamakan kedaulatan politik suatu bangsa atas negerinya sendiri tidak lagi mampu membendung berbagai gugatan dan tuntutan akan kebebasan, dikembangkanlah paham-paham atau pemikiran-pemikiran seperti relativitas budaya.

Menurut pandangan ini, suatu bangsa hanya dapat dipertahankan manakala watak dasar bangsa itu sendiri dapat dilestarikan. Watak dasar integralistik yang dimiliki bangsa kita, umpamanya, merupakan salah satu argumen yang senantiasa dikemukakan untuk menolak keabsahan gagasan kebebasan politik penuh bagi warga negara di hadapan kekuasaan pemerintah.

Dikesankan dengan cara demikian, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa akan terancam pengepingan dan terbenam dalam kekacauan apabila tidak menempuh sistem politik yang berlandaskan paham integralistik. Liberalisme dan demokrasi liberal, sebagai tandingan bagi sistem integralistik, lalu diangkat menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa kita dan bahaya yang mengancam kelestarian hidup kita.

Lebih jauh lagi, tuntutan akan kebebasan dan desakan untuk menerapkan hak-hak asasi manusia, lalu disamakan begitu saja dengan Liberalisme sebagai paham dan demokrasi liberal sebagai cara penerapan paham tersebut.

Paham integralistik yang sedang menghadapi tuntutan dan gugatan di atas, lalu berpretensi menjadi pelindung aliran-aliran primordial dan cara hidup unik yang telah dikembangkan bangsa kita selama ini. Hak-hak asasi manusia yang bersifat universal, yang dianggap sebagai paksaan dari Barat, lalu dihadapkan kepada unikum yang bernama Hukum Islam.

Beberapa sisi dari Hukum Islam, yang memang berbeda dari atau berlawanan dengan hak-hak asasi manusia yang universal itu, seolah-olah sudah menjadi aksioma yang tidak menerima penafsiran ulang lagi. Padahal kajian mendalam justru menampilkan luasnya bentangan-bentangan penafsiran ulang yang dapat dilakukan terhadap rumusan-rumusan Hukum Islam tentang hak-hak asasi manusia.

Bahwa kehendak Allah dapat dirumuskan melalui kehendak kolektif umat manusia adalah salah satu di antar watak dasar kehidupan yang dapat disumbangkan kaum muslimin kepada peradaban umat manusia. Dengan upaya yang dilakukan oleh para pakar atas sejumlah unikum yang dianggap telah diwakili oleh sistem politik integralistik yang digunakan di negeri ini, menjadi terbukti bahwa Partikularisme tidak layak lagi dipertimbangkan sebagai penyusunan doktrin politik yang mewarnai kehidupan bangsa. Justru sebaliknya, berbagai unikum yang ada akan saling berbenturan apabila dilayani oleh sistem pemerintahan masing-masing secara khusus. Partikularisme akan memperlunak kehadiran negara bangsa dalam kehidupan kita.

Demikian pula dengan tradisi-tradisi kultural, etnis dan keagamaan lainnya yang dihadapkan sebagai entitas-entitas partikular kepada hak-hak asasi manusia yang universal. Entitas-entitas partikular kepada hak-hak asasi manusia yang universal.

***

KECENDERUNGAN menekankan hal-hal partikular atas universalitas hak-hak asasi manusia dan relativitas kultural atas mutlaknya tuntutan akan kebebasan, sebenarnya merupakan pengalihan perhatian dari keharusan menciptakan kerangka kemasyarakatan dan keagamaan yang cukup tangguh untuk mempertahankan capaian-capaian yang telah dihasilkan di berbagai bidang pembangunan, sementara kesiapan untuk melakukan finalisasi bentuk-bentuk pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan masa depan belum dapat dituntaskan.

Dengan ungkapan lain, elit yang sedang berkuasa belum mampu menciptakan tradisi politik yang cukup kuat untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan pendapat yang terjadi di antara pusat-pusat kekuasaan (power centers) yang terlibat dalam percaturan politik, tanpa menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan bangsa. Perubahan personalia pemerintahan masih cenderung berbentuk perubahan sistem pemerintahan. Karenanya akan selalu ada keengganan untuk melepaskan kendali atas jalannya roda pemerintahan kepada pihak yang lain.

Salah satu dari manifestasi sikap itu adalah kecenderungan kuat untuk menolak kehadiran pihak oposisi dalam lembaga perwakilan rakyat di negara-negara berkembang. Kalau oposisi diperkenankan, seperti di Malaysia dan Singapura, segala macam aturan yang sebenarnya bersifat ekstra-konstitusional bagi pihak oposisi untuk memenangkan pemilihan umum.

Dengan demikian menjadi jelas, bahwa masalah hak-hak individual warga negara, yang sebenarnya merupakan aturan-aturan yang membatasi kekuasaan negara dalam hubungan eksternalnya dengan masyarakat, telah ditarik langsung ke dalam lingkup percaturan internal di antara pusat-pusat kekuasaan yang ada. Sudah tentu menjadi tidak mungkin diterima obyektivitas hak-hak individual itu oleh subyektivitas kepentingan pihak pemegang kekuasaan.

Kedewasaan sistem pemerintahan di kebanyakan negara berkembang sebenarnya sangat ditentukan oleh kemampuan membedakan hal-hal yang secara inheren harus diterima sebagai kenyataan obyektiv, dan memisahkannya dari posisi subyektif para pemegang kekuasaan.

***

SEBAGAIMANA dikemukakan di atas, upaya mengokohkan pemerintahan otoriter dan semi-otoriter, seperti yang terjadi di negeri kita saat ini, adalah salah satu jawaban terhadap irrelevansi ideologi-ideologi universal, seperti Komunisme, di hadapan kekuatan ekonomi kapitalistik yang berwajah ekonomi pasar bebas. Kalau sudah negara-bangsa adikuasa seperti Uni Soviet tidak terhindar dari disintegrasi dengan bertumpu kepada sebuah ideologi universal, sudah tentu harus ada substitusi ideologis yang dijadikan tumpuan bagi kelanjutan konsep negara-negara itu. Salah satu substitusi yang ditampilkan adalah ideologi nasional yang difungsikan sebagai pemersatu seluruh unsur-unsur kehidupan bangsa dan sekaligus pemberi legitimasi bagi sistem pemerintahan yang ada.

Kedudukan ideologi yang berlingkup nasional seperti itu, termasuk di dalamnya Pancasila sebagai ‘ideologi nasional’ bangsa kita menjadi sangat sentral dalam kehidupan bangsa dan negara. Ia merupakan ikatan formal yang diturunkan dari Pembukaan maupun Batang Tubuh Undang-Undang Dasar, dan kemudian dikembangkan terlepas dari keseluruhan Undang-Undang Dasar itu sendiri. Dalam kerangka seperti ini ideologi lalu dikembangkan menurut visi dan kebutuhan sesaat dari sistem pemerintahan yang ada. Seringkali dengan mengingkari rumusan-rumusan dan semangat Undang-Undang Dasar yang menjadi sumber asalnya.

Undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat atas nama ideologis nasional yang dikembangkan terlepas dari ketentuan harfiah dan semangat undang-undang dasar, dengan demikian lalu berfungsi sebagai organ dari ideologi nasional itu, dan oleh karenanya tidak boleh ditinjau dari sudut pandang Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar itu sendiri.

Kontradiksi mendasar antara undang-undang dasar di satu pihak, dan ideologi nasional sebagai perangkat derivatif yang menafsirkannya dalam jabaran-jabaran lebih lanjut di pihak lain, dengan demikian lalu menjadi tidak terelakkan lagi. Guna memberikan legitimasi bagi penerapan ideologi negara dengan cara seperti itu, mau tidak mau lalu memaksa pihak pemegang kekuasaan untuk melakukan upaya ideologisasi segenap bidang kehidupan secara massif dan intensif.

Indoktrinasi sebagai sebuah proses ideologisasi dilangsungkan secara besar-besaran, terutama dengan menampilkan dua sisi yang saling berbeda. Di satu sisi, dilakukan penggalian atas nilai-nilai luhur bangsa, yang kemudian dilekatkan kepada ideologi nasional sebagai ‘bukti’ dari relevansi ideologi nasional itu sendiri bagi kehidupan bangsa. Di sisi lain, dilakukan upaya untuk melakukan teorisasi yang baku dan konseptualisasi yang menyeluruh atas cakupan-cakupan nasional itu dalam kehidupan. Dengan ungkapan lain, nilai-nilai ukur yang sudah dianggap baku ternyata masih harus dikembangkan dalam sebuah proses pembakuan, yang tentunya merupakan perkembangan yang saling bertolak belakang.

Dengan terjadinya kecenderungan perkembangan berlingkar antara dua proses pembakuan di atas, artikulasi dari proses ideologisasi itu sendiri lalu kehilangan makna dan kejalasan pengertian, sehingga yang tertinggal hanyalah proses ideologisasi sebagai pemberian legitimasi kepada sistem pemerintahan yang ada. Dengan demikian ideologi lalu hanya berfungsi sebagai pembenaran kebijakan para pemegang kekuasaan, dan sangat kurang berfungsi sebagai alat pelestarian persatuan dan kesatuan bangsa.

***

BERFUNGSINYA ideologi dalam konteks sangat terbatas seperti digambarkan di atas, dan berlangsungnya proses ideologisasi yang tidak punya makna banyak bagi kehidupan bangsa, dengan sendirinya membuat bertambah lebarnya kawasan kosong bagi rakyat, yang seharusnya diisi oleh pengembangan hak-hak para warga negara yang menjadi kebutuhan obyektif bagi seluruh bangsa. Tanpa pemenuhan hak-hak individual para warga negara secara tuntas, sebagaimana telah dijamin oleh Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar, proses ideologisasi hanya akan semakin menghilangkan kepercayaan rakyat kepada sistem pemerintahan yang ada.

Ideologi yang luhur dan mulia, ternyata tidak diwujudkan dalam perilaku pemerintahan yang sesuai dengan tujuan dan semangat Undang-Undang Dasar, yaitu berlangsungnya pemerintahan yang memiliki kewenangan terbatas dalam mengatur kehidupan masyarakat. Negara lalu tampak sebagai kekuasaan pihak yang memerintah, bukannya sebagai pelaksanaan sistem pemerintahan yang bercirikan kedaulatan hukum.

Jelaslah dari apa yang diuraikan di muka, bahwa hubungan antara individu dan negara berlangsung dalam sebuah pola yang sangat rumit, yang lebih bertambah rumit lagi ketika proses ideologisasi dilaksanakan secara besar-besaran. Terjadi tumpang tindih wewenang, tugas dan tanggung jawab antara ideologi dan undang-undang dasar sebagai instrumen utama berlangsungnya kehidupan bernegara dan berbangsa.

Keadaan tumpang tindih itu akan semakin mempersulit upaya mendekatkan kenyataan kepada cita-cita perjuangan semula. Apakah keadaan semacam ini, yang di satu pihak mengacu kepada lebih menguatnya kekuasaan negara atas kerugian hak-hak individual warga negara dan di pihak lain semakin melemahnya posisi undang-undang dasar dihadapan ideologi nasional itu sendiri, akan berakibat pada proses lebih lanjut semakin melemahnya kohesi bangsa dan relevansi wawasan negara-bangsa, masih belum dapat diterka pada saat ini. Sejarahlah yang akan memberikan jawaban, seperti selalu terbukti selama ini.

 

Jakarta, 2 Februari 1994

Abdurrahman Wahid, budayawan

Tulisan ini dimuat di Harian KOMPAS Jumat, 04-02-1994. Halaman: 4

Posted in Artikel Gus Dur

IN MEMORIAM: KIAI ACHMAD SHIDDIQ

(CAtatan Budaya Gus Dur)

Oleh Abdurrahman Wahid

Susah sejak beberapa bulan sejumlah ulama berfirasat tajam mengingatkan penulis; bahwa NU akan kehilangan lagi seorang ulama besar. Bahkan Kiai Dahnan Trenggalek agak eksplisit: NU jangan bergantung hanya kepada satu orang, siapapun orangnya. Bahkan Kiai seampuh Kiai Ahmad Shiddiq pun hanya seorang manusia belaka, yang dapat dipanggil Tuhan sewaktu-waktu. Kiai Hamin Jazuli Ploso (Kediri), alias Gus Miek, memberi isyarat tanggal 16 Desember yang lalu, agar NU mempersiapkan  calon Rais Aam baru.

Karenanya, sewaktu mendengar Kiai Ahmad (begitu penulis senantiasa menyebutnya, tanpa menyebut nama ayahnya Kiai Shiddiq) masuk rumah sakit, penulis sudah mempersiapkan hati dan pikiran untuk menerima berita yang terburuk sekalipun. Namun di kala kabar itu datang. Ia tetap saja merupakan pukulan palu godam yang meremukkan hati dan menggoncangkan jiwa. Hanya dengan disiplin baja penulis mampu menahan diri untuk tetap bersikap tenang dan berlaku normal seperti biasa. Padahal keinginan hati langsung berangkat ke Surabaya, lalu langsung ke Jember. Paling tidak, agar dapat melihat wajahnya untuk terakhir kali, sebelum dikuburkan. Untuk mereguk kemuliaan hati, pikiran dan sikap jiwanya.

Ya, Kiai Ahmad memang seorang mulia. Bukan karena ia melebihi manusia lain. Sering ia bersikap ragu, bahkan ia mungkin adalah peragu kelas berat. Juga sering bersikap emosional dalam menghadapi urusan-urusan kecil. Begitu pula, ia terkesan menutup diri manakala menghadapi gencetan dan serangan dari kanan-kiri. Dan mungkin terlalu mudah menerima pertimbangan orang-orang di sekitarnya di Jember atau di tingkat Jawa Timur, sehingga sering menjadi pusing sendiri.

Tetapi, semua kekurangan kecil itu justru mempertegas kemuliaan jiwa, hati dan pikirannya. Bahwa sebagai manusia dengan keterbatasan-keterbatasan seperti itu, ia justru dapat meraih ketinggian yang tidak dapat dicapai oleh mereka yang lebih kuat. Bahwa dengan kelemahan itu ia justru mampu menjadi nakhoda yang membawa kapal NU mengarungi badai dahsyat setelah NU kembali kepada khitthan-nya semula. Dan tetap mampu menjaga agar Nu tetap berada pada alur sunnah (jalan)-nya semula. Mendiang Presiden John F. Kennedy pernah menggambarkan kepemimpinan sebagai sikap nakhoda kapal yang tengah menempuh badai. Bukan berlari-lari menimba air kembali ke laut, seperti para kelasi. Tetapi membuang jangkar dan lalu tidur, menunggu badai berlalu. Baru setelah itu membuang sauh dan membawa kembali kapalnya berlayar. Seperti itulah kira-kira sikap Kiai Ahmad dalam memimpin NU. Dengan catatan ia tidak langsung tidur, tetapi lebih dahulu bersembahyang malam, menyerahkan segala urusan kepada Allah Subhanahu Wataala.

NAKHODA berpegang kepada susunan perbintangan di cakrawala yang cerah. Kiai Ahmad berpegang kepada sejumlah kaidah hukum agama yang membawakan tatanan masyarakat yang ideal. Kaidah akan pentingnya memelihara keselamatan umat yang dipimpin. Kaidah akan pentingnya mencapai cita-cita secara bertahap. Kaidah akan pentingnya perlindungan kepada pihak lain yang lebih lemah. Kaidah pentingnya persaudaraan antar manusia ditegakkan dengan segala daya upaya. Kaidah akan pentingnya arti atas kemanfaatan sesuatu tindakan atau langkah yang diambil. Sikap seperti itu ia peroleh dari kesetiaannya kepada hukum agama (fiqh). Dan itulah salah satu sisi yang berhasil digunakannya untuk mewarnai kehidupan NU sejak ormas itu dipimpinnya.

Tetapi, ia bukan hanya pengikut hukum agama yang setia dan patuh. Ia, juga memiliki spritualitas atau derajat  kerohanian yang memperkaya sikap taat dan patuh itu. Melalui pergaulan eratnya dengan almarhum Kiai Hamid Pasuruan dan Gus Miek, dan melalui keterikatannya kepada ritus Dzikrul Ghafilin (Pengingat Mereka yang lupa), ia mampu mengembangkan sebuah dimensi lain dalam situasi keagamaan warga NU; kecintaan dan kasih-sayang yang mengatasi perbedaan, apapun perbedaan antar manusia yang terdapat. Sejak tahun-tahun tujuh puluhan ia melakukan pengembaraan rohani seperti itu, dan sewaktu ia menjadi Rais Aam PBNU getaran rohani penuh kasih sayang kepada sesama itu telah membentuk sikap dan kepemimpinannya.

Bertolak dari dimensi kerohanian atau spritualis itulah, ia mengajukan uluran tangan persaudaraan kepada Muhammadiyah. Gayung bersambut, dan bergandengan tanganlah Kiai Ahmad dan Pak AR, Ketua PP Muhammadiyah waktu itu. Proses yang menyejukkan hati umat Islam mulai menggelinding, betapa lambatnya pun gerak langkah yang dilalui. Kepada umat non-muslim ditawarkannya wawasan persaudaraan mereka yang sebangsa (ukhuwwah wathanoyah). Orang tidak perlu dibedakan hanya karena berlainan agama atau keyakinan. Wawasan yang diajukan dalam Munas NU tahun 1987 di Cilacap itu tidak hanya menyentuh kaum non-muslimin saja, tetapi juga orang Islam  yang tidak tergabung dalam gerakan Islam manapun. Muslim formal, muslim informal dan muslim nonformal dianggap sesama saudara, sebuah sikap yang menyejukkan.

RUMUSAN Kiai Ahmad, yang  diterima muktamar NU ke-27 di Situbondo tahun 1984 tentang hubungan agama dan negara, juga diwarnai oleh pengertiannya yang mendalam akan hakikat persoalan utama kita sebagai bangsa. Negara kesatuan republik Indonesia adalah  bentuk final perjuangan kaum muslimin adalah rumusan sederhana dengan implikasi sangat jauh bagi pluralitas corak kehidupan bangsa kita di masa depan. Akan semakin berkembanglah pluralitas itu, dengan keberkahan bagi semua, ataukah sistem akan dikikis oleh sektarianisme agama? Jawaban Kiai Ahmad merupakan siraman segar bagi pluralitas corak kehidupan bangsa kita di masa depan. Sisi ini dari Kiai Ahmad, di samping karena penguasaannya yang mendalam atas hukum agama dan spiritualitas jiwanya yang penuh kasih-sayang, juga bersumber pada derajat kecendekiawanan almarhum. Diikutinya pertumbuhan bangsa ini dengan kepedulian yang jujur dan konsisten. Kecendikiawanan yang diwarnai oleh kepedulian mendalam atas nasib masa depan bangsa itulah yang melahirkan keberanian melahirkan gagasan besar yang demikian drastis bagi seorang pemimpin formal gerakan Islam.

Menjadi munafik-kah  Kiai Ahmad kepada agamanya sendiri? Ternyata tidak. Dalam sebuah  sidang DPA ia berkeras pada pendirian bahwa hanya seorang muslim yang dapat diterimanya sebagai  kepala negara, sebagai Presiden/Mandataris MPR. Mungkin pandangan yang tidak konsisten dengan wawasan persaudaraan umat sebangsa yang dilontarkannya sendiri. Tetapi  yang dapat dipahami wajar saja keluar dari seorang Kiai yang memimpin sebuah ormas Islam. ‘Penyimpangan’ pandangan seperti ini tidak mengurangi sedikitpun kebenaran wawasan hukum keagamaan, spiritualitas penuh kasih sayang dan kepedulian seorang cendikiawan yang dimilikinya dalam penimbangan demikian baik.

Kiai Hasyim Asy’ari selaku Rais Akbar membawakan ketinggian derajat kompetensi ilmu keagamaan sangat tinggi ke  dalam tubuh NU, yang masih menjadi standar kepemimpinan tertinggi orang itu. Kiai A. Wahab Hasbullah membawakan ke dalam kedudukan Rais Aam NU kegigihan mempertahankan pluralitas partai politik, berhadapan dengan gagasan Bung Karno waktu itu, pluralitas yang ternyata masih bertahan dalam tatanan politik kita saat ini. Padahal ia adalah unsur utama bagi proses demokratisasi kita yang semakin matang dan penuh tantangan di masa depan. Kiai Bisri Syansuri membawakan dua hal yang sebenarnya saling berlawanan; kegigihan membela hukum agama di hadapan proses modernisasi yang sering berbentuk Pembaratan/westernisasi sekuler. Kiai Bisri mampu mengembangkan fleksibilitas sikap terhadap proses tersebut, dengan tetap memelihara esensi hukum agama. Kiai Al Ma’shum melanjutkan dialog antara hukum agama dan proses modernisasi itu dengan memperdalam cakrawala filosofis para ulama NU. Hasilnya adalah rekonsiliasi positif antara Islam dan Pancasila, yang oleh Kiai Ahmad Imran Rosyadi, SH dan almarhum Dr. KH Tholhah Mansur dikonkritkan dalam bentuk rumusan “Pancasila adalah asas NU, sedangkan Islam adalah aqidahnya.”

Kontinuitas missi yang dibawakan oleh empat orang pemimpin tertinggi NU di masa lampau itu dimantapkan oleh almarhum Kiai Ahmad Shiddiq dengan sumbangan-sumbangannya yang telah diuraikan di atas. Masa depan NU tergantung pada kemampuan Rais Aam berikut untuk melanjutkannya dengan missi lebih konstruktif lagi dalam menghadapi era industri dan pasca-industri dalam abad ke-21 nanti.

 

Abdurrahman Wahid, Ketua Umum PB-NU

Artikel ini dimuat di Harian KOMPAS Sabtu, 26-01-1991. Halaman: 4